Meskipun merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya ternyata tidak masuk dalam jajaran kota yang disiapkan menjadi kota kreatif di peta nasional[1]. Memang, kota besar bukan berarti secara otomatis adalah kota kreatif. Malah, dalam kasus Surabaya, banyak yang berpendapat bahwa kreatifitas dan kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan industri ataupun perdagangan, tidak mendapatkan ruang ataupun apresiasi di sini. “Kota dagang”, “kota kerja”, dengan karakter yang keras, kasar, tidak mempedulikan budaya, seni, ataupun komunitas sekeliling yang tidak berhubungan langsung dengannya, kerap diasosiasikan dengan kota pesisir ini (sebagai contoh, lihat Dick 2002; Basundoro 2009).
Bagaimanapun juga, karakter dan identitas suatu masyarakat dibentuk, sekaligus juga membentuk, konteks dan lingkungan sekitarnya. Karakter “khas” suatu masyarakat bukanlah sesuatu yang baku tertanam dalam masyarakat itu sendiri, tapi terus menerus berubah dan mengubah konstruksi sosial dan gagasan mengenainya, antara lain melalui sejarah, representasi media, sistem produksi-distribusi-konsumsi, serta regulasi dan peraturan-peraturan yang ada. Hal-hal ini perlu digali dan diteliti lebih lanjut agar kita tidak terhenti hanya pada mempermasalahkan “kulit” dari karakter ini saja.
Dalam tulisan ini, saya mengambil contoh kasus desain sebagai salah satu industri kreatif di Surabaya. Data terutama didapatkan dari hasil diskusi dan presentasi dalam Design It Yourself, satu rangkaian acara desain yang digelar selama bulan Oktober 2011 di Perpustakaan C2O. Desain di sini kami maknai sebagai sesuatu yang sangat integral dan mendasari aktifitas manusia. Perancangan dan pembuatan pola kegiatan apapun untuk mencapai tujuan yang direncanakan adalah proses desain (Papanek 1972). Dalam acara ini, kami mengajak berbagai pihak, mulai dari komunitas kecil, praktisi bisnis, dan akademisi yang berkaitan dengan desain, terutama di Surabaya, untuk bersama-sama mengintrospeksi diri dan berbagi cerita mengenai situasi kondisi masing-masing dalam satu forum diskusi.
Ketika ide acara ini pertama kali dilontarkan, sejujurnya kami sendiri pun sedikit banyak keder. Dilakukan secara swadaya tanpa modal, sponsor ataupun media utama, dan hanya berbekal SDM yang sangat terbatas dari para anggota aktif C2O, bagaimana kami bisa menarik peserta dan masyarakat Surabaya untuk berpartisipasi dalam acara ini?
Pendekatan pada pembicara kami lakukan melalui komunikasi personal, dengan memanfaatkan lingkaran pertemanan dan komunitas desain yang kami kenal. Agar tidak mengganggu jam kerja, acara utama yaitu diskusi yang disebut DIY Talks, digelar setiap hari Sabtu dan Minggu[2]. Proposal acara ini kami siapkan dan jabarkan ke para peserta, bahwa acara ini akan memfokuskan pada diskusi untuk kemudian dibuat dokumentasi mengenai desain di Surabaya. Plot diskusi kami siapkan dan kami jabarkan sebelum diskusi melalui korespondensi email agar diskusi menjadi lebih terarah. Untunglah, di luar dugaan, ternyata kami mendapat tanggapan antusias. Ada sedikitnya 45 pembicara yang mewakili komunitas, industri, dan akademisi yang berkaitan dengan desain dan industri kreatif, ditambah perwakilan dari pemerintah (Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya). Rata-rata 30-60 orang hadir di tiap diskusi yang digelar di tiap akhir pekan. Kekhawatiran awal kami mengenai kemungkinan pembicara maupun audiens menjadi jenuh dengan diskusi setiap akhir pekan, terbukti tidak terjadi.
Respon positif ini paling tidak bisa membuat kita mempertanyakan asumsi umum mengenai pelaku desain Surabaya yang katanya lebih suka berjalan sendiri-sendiri dalam lingkup masing-masing, dan tidak mempedulikan perkembangan komunitas dan pertukaran dialektika (sebagai contoh, lihat Kidung edisi 14, 2009 “Industri Kreatif, Ekonomi Kreatif”). Memang, para pembicara dan pengunjung juga mengeluhkan orientasi ‘bermain sendiri-sendiri’ dan kurangnya kerjasama positif antar pelaku desain di Surabaya. Tapi kita perlu berpikir lebih jauh tentang faktor-faktor yang membentuk kondisi-kondisi di atas, dan bagaimana iklim lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya Surabaya mempengaruhi dan dipengaruhi kondisi tersebut.
Kurangnya komunikasi dan sinergi antar komunitas, industri, akademi dan pemerintah, merupakan salah satu faktor yang mencolok dalam pembentukan iklim ‘jalan dewe-dewe’ ini. Meskipun pemerintah kerap mengkampanyekan penggalakan industri kreatif, pada praktiknya banyak hal-hal yang mempersulit para pelaku desain, seperti ribetnya urusan perizinan dalam pembuatan film, atau sewa ruang publik seperti Balai Pemuda. Beberapa pelaku desain dan seniman bercerita bahwa sudah beberapa kali penyelenggaraan acara mereka di Balai Pemuda di-“sabotase” (misalnya, tiba-tiba gedung disewakan untuk pernikahan meskipun tempat sudah disewa untuk pameran, atau baliho mereka diturunkan). Tak jarang juga mereka dikenai pungutan liar yang tidak sedikit. Maka tidak heran, pelaku-pelaku desain dan komunitas sering merasa enggan terlibat dengan pemerintah.
Akademisi seharusnya juga berperan besar dalam pembentukan wacana desain di Surabaya. Sayangnya, menurut Prof. Josef Prijotomo, guru besar arsitektur ITS, situasi akademis di Surabaya memang cukup ruwet, apalagi jika berkaitan dengan pegawai negeri. Berkaitan dengan beberapa pendidikan tinggi desain, untuk melakukan perubahan, diperlukan proses dan prosedur yang sangat panjang.
Sementara Bing Fei, ketua Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI) Surabaya Chapter 2008-2011, yang sebenarnya tidak pernah mengenyam pendidikan desain formal, sedikit heran (kalau tidak prihatin) melihat institusi-institusi pendidikan yang seperti berlomba-lomba membentuk DKV. “Ada euforia. Soalnya ketika teman-teman atau orang yang berniat magang saya wawancarai, kok hampir 80% sepertinya tidak tahu kenapa mereka masuk ke sekolah desain. Rata-rata jawabannya karena: Enak, isine nggambar tok. Atau, tidak ada matematikanya.”
Di sini tampak adanya bahaya pembentukan fakultas dan/atau jurusan desain yang tidak diimbangi dengan pemikiran konseptual yang matang. Desain menjadi identik dengan menggambar, misalnya, atau sekedar tukang cetak, tukang tata letak. Atau lebih parah, jurusan yang mudah, visual saja tanpa hitung-hitungan. Apalagi, karena desain sebagai disiplin pendidikan terbilang berusia sangat muda di Surabaya[3], ada semacam lingkaran “krisis” sumber daya pengajar. Sudah sangat umum terjadi, bahwa pelaku desain yang menonjol, biasanya akan pindah ke kota lain yang lebih menjanjikan (biasanya Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta) karena kurangnya apresiasi dan infrastruktur desain di Surabaya.
Selain kurang adanya sinergi industri desain dengan pemerintah, akademi dan sektor publik, banyak pelaku juga mengeluhkan kurangnya tempat yang memberi ruang untuk dialog-dialog kreatif lintas-ruang dan lintas-komunitas. Susahnya mendapatkan ruang berekspresi dan berdialog ini menjadi salah satu kendala utama pelaku desain di Surabaya. Beberapa tempat yang umum digunakan misalnya, adalah Balai Pemuda (yang baru saja terbakar 20 September 2011 lalu, dan persewaannya sering dipersulit), Cak Durasim, dan Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya (akan pindah di tahun 2012 ke kompleks AJBS). Sementara dalam kasus galeri, meskipun jumlah galeri seni di Surabaya cukup banyak, fungsinya kerap kali masih sebagai tempat untuk memajang dan menjual karya saja, dan hanya diketahui oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Dampaknya adalah, tidak ada proses dialog yang berkelanjutan antara desainer atau seniman dengan masyarakat, dan wacana desain pun menjadi terbatas pada kalangan tertentu.
Sebenarnya, desainer Surabaya bisa lebih memanfaatkan tempat-tempat non-konvensional. MADcahyo dari noMADen dalam presentasinya mengenai tata kota kreatif, memaparkan potensi kampung sebagai generator kreatifitas. Seharusnya potensi kampung ini bisa lebih digali bersama-sama. Apalagi, jika kita melihat peta kota Surabaya, hampir 80% areanya adalah kampung, dan banyak kampung-kampung ini sebenarnya telah memenangkan banyak penghargaan internasional (yang sayangnya penduduknya sendiri sering tidak tahu)[4]. Sayangnya, menurut MADcahyo, jaringan transportasi umum di Surabaya sangat tidak memadai, dan sedikit banyak menghambat proses interaksi intra-kampung. Harus ada komunikasi dan kerja sama antara desainer dan masyarakat, dan proses ini harus dijaga keberlanjutannya.
Untuk menjaga proses keberlanjutan, diperlukan adanya dokumentasi proses dan konsep. Namun, di Surabaya, acap kali pengarsipan dan dokumentasi kegiatan dan projek desain belum dinilai terlalu penting untuk pengembangan selanjutnya. Para pelaku umumnya masih terpaku pada proses produksi karya, dan kurang memperhatikan dokumentasi proses, konsep berkarya dan sosialisasinya. Jarang komunitas Surabaya mempunyai mekanisme pendokumentasian yang konsisten terhadap karya dan data-data mereka sendiri. Ini juga sering berlaku dalam penyelenggaraan acara. Pada umumnya, acara-acara ataupun projek desain di Surabaya masih sekedar selayang pandang, “pokok tampil”, dan kurang memperhatikan pembentukan visi misi jangka panjang. Tak jarang, wacana berakhir begitu acara selesai. Atau, kalaupun ada tujuan jangka panjang, para pelaku kelabakan menindaklanjuti.
Sebagai contoh adalah Surabaya Design Week, yang pertama kali diadakan di tahun 2008 (3-9 November) di Balai Pemuda. Acara ini dimotori oleh anak-anak muda yang tergabung dalam deMaya (Desainer Muda Surabaya), dan didukung oleh beberapa dosen dan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi Surabaya. Dengan tema “Unleashed”, acara ini diharapkan dapat menampilkan eksistensi desainer Surabaya. Sayangnya, karena banyak hal yang tidak dapat dihindari, Surabaya Design Week yang awalnya diharapkan dapat menjadi acara tahunan, sejauh ini masih belum ada tindak lanjutnya. Namun usaha ini tetap harus dihargai sebagai embrio untuk menumbukan iklim kreatif di Surabaya. Tak bisa dipungkiri, banyak pelaku dan peserta Surabaya Design Week ini turut aktif berpartisipasi dalam Design It Yourself, dan mereka sama-sama menyambut antusias acara yang skalanya jauh lebih kecil ini.
Di tengah-tengah iklim kreatif yang belum terbentuk ini, akses informasi terhadap wacana desain menjadi sangat terbatas, jika tidak berputar-putar hanya pada lingkup komunitas masing-masing saja. Sehingga tak jarang terjadi, orang-orang kebingungan mencari desainer, animator, komikus, atau arsitek di Surabaya dan akhirnya terpaksa mempekerjakan tenaga dari luar kota karena terbatasnya informasi dan dokumentasi mengenai desainer lokal Surabaya[5]. Keterbatasan data juga kemudian sering mendorong timbulnya “debat kusir” mengenai “identitas” atau “ciri khas” Surabaya yang acap kali kemudian menjadi esensialisasi (mengenai apa yang Surabaya dan apa yang bukan), atau stereotipe simbolik.
Selain itu, potensi media online dan digital tampaknya belum terlalu dimanfaatkan dengan optimal oleh komunitas desain di Surabaya. Sering terjadi, blog atau situs dibuat, kemudian tak lama terbengkalai dan akhirnya mati atau jarang diupdate. Bahkan website ADGI (Asosiasi Desain Grafis Indonesia) Surabaya Chapter pun mengalami kembang kempis vakuum domain dan data-datanya[6]. Namun, sudah mulai bermunculan juga beberapa media dan komunitas yang memanfaatkan potensi internet, seperti misalnya Surabaya Fashion Carnival (http://surabayafashioncarnival.blogspot.com)[7], Hifatlobrain Travel Institute (http://hifatlobrain.net), BRAngerous (http://brangerous.blogspot.com/), dan Surabaya Tempo Dulu (http://surabayatempodulu.com). Informasi acara dan karya kini juga banyak menggunakan Facebook dan Twitter. (Malah, publikasi poster dan flyer perlahan-lahan banyak berkurang.) Basis online yang aktif ini juga sedikit banyak membantu memfasilitasi interaksi lintas-ruang dan lintas-komunitas, yang kemudian mendorong proses pengembangan berbagai ide, kemampuan, perspektif, dan koneksi yang beragam.
Industri dan komunitas desain di Surabaya memang sejauh ini bisa bertahan dengan cara masing-masing, dengan ‘jalan dewe-dewe’nya. Tapi dari pengakuan para peserta dan pengunjung Design It Yourself , ada kesadaran bahwa di era seperti ini, tidak bisa tidak, sinergi antara desainer, masyarakat, pemerintah dan akademisi harus saling berkomunikasi dan bersinergi. Salah satu tujuan Design It Yourself diselenggarakan adalah untuk mendokumentasikan dan menginventarisasikan data mengenai pelaku dan komunitas desain di Surabaya. Harapannya adalah agar dokumentasi ini dapat kemudian digunakan sebagai data untuk perumusan dan analisis permasalahan. Kami berharap, keberadaan dokumentasi dan analisis ini dapat sedikit membantu membuat permasalahan-permasalahan yang mungkin terasa begitu kompleks dan kabur menjadi lebih terlihat (visible) dan terwujud (tangible). Selain itu, kami juga berharap bahwa dalam prosesnya, kita dapat bersama-sama menguji kebersamaan serta mengajak berbagai pelaku dan komunitas desain untuk membangun kreativitas melalui dialog dan kolaborasi.
Referensi
Basundoro, Purnawan. Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Hingga Kemerdekaan. Penerbit Ombak, 2009.
Dick, Howard. Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000. Ohio: Ohio University Press, 2002.
Papanek, Victor. Design for the Real World: Human Ecology and Social Change. New York: Pantheon Books, 1971.
Dewan Kesenian Jawa Timur. Kidung, Majalah Seni dan Budaya edisi 14 “Industri Kreatif, Ekonomi Kreatif.” Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009.
Hidayat, Anas. “Surabaya Design Week: embrio kreatif” dalam Arsitektur Koprol. [KA1]
Prastyo, Edd. “Kampung-kampung Surabaya Langganan Penghargaan Internasional.” Suarasurabaya.net. 8 April 2011. Tanggal akses: 15 November 2011. URL:
http://kelanakota.suarasurabaya.net/?id=60648485814d36e9dece32e5eb2413b8201191123
Endnotes
[1] Kota yang akan dipersiapkan pemerintah menjadi Kota Kreatif adalah “Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Bali [sic].” Kompas 10 Juli 2011.
[2] Dari pengalaman kami menyelenggarakan acara, berbeda dengan Jakarta, Yogyakarta atau Bandung, pekerja “kreatif” di Surabaya umumnya masih harus menyambi dengan pekerjaan utama, dan baru bisa melakukan kegiatan “kreatif” mereka di luar jam kerja pk. 08.00 – 17.00, atau di akhir pekan.
[3] Jurusan Desain Komunikasi Visual pertama kali dibuat di Surabaya oleh UK Petra di tahun 1998.
[4] Antara lain: kampung Kebalen (Aga Khan Award, 1986), Donorejo-Donokerto, Banyu Urip, dan Pandegiling (Prastyo Edd, 2011).
[5] Ini bukan berarti kami mengharuskan orang Surabaya untuk mempekerjakan desainer Surabaya juga. Justru sebaliknya, kolaborasi dan pandangan dari kota lain akan menambah kaya wacana kita. Yang kami kritisi adalah kurangnya informasi mengenai desainer lokal Surabaya sendiri. Tak dapat disangkal, sejauh ini memang lebih mudah mencari publikasi desain dari kota-kota seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta daripada dari Surabaya sendiri.
[6] Terakhir diakses tanggal 19 November 2011, website ini masih kosong isinya. Namun salah satu pelaku ADGI Surabaya Chapter mengabarkan melalui percakapan pribadi bahwa ada rencana untuk merevitalisasi situs ini di tahun 2012.
[7] Kebetulan saat presentasi mereka berlangsung, Surabaya Fashion Carnival sedang mengalami masa vakuum update, tapi dukungan dan saran-saran dari para peserta dan pengunjung lainnya (antara lain untuk melakukan regenerasi dan menerima kontribusi artikel), tampaknya memberi dorongan positif bagi para pelakunya untuk mengaktifkan kembali update situs mereka.
Catatan kegiatan Design It Yourself ini diterbitkan pertama kali seri katalog data IVAA #3: Kolektif Kreatif.
Citation:
Azali, Kathleen. 2012. “Catatan kegiatan: Design It Yourself” dalam Wardhani, Farah; Kurniawan, Agung; Murti, Yoshi Fajar Kresno (ed.). Seri Katalog Data IVAA #3: Kolektif Kreatif Dinamika Seni Rupa Dalam Perkembangan Kerja Bersama Gagasan Dan Ekonomi (Kreatif) (1938-2011). Yogyakarta: Indonesian Visual Art Archive, 2012.