Ronggeng Dukuh Paruk: Seksualitas & Penghayatan Sang Penari

Dulu Srintil sangat percaya bahwa penghayatan versi ronggeng lebih unggul karena tiadanya tertib susila, sehingga wilayah penghayatannya adalah kelelakian secara umum, bukan kelelakian dalam diri seorang lelaki tertentu.  Karenanya dulu Srintil yakin menjadi seorang ronggeng lebih terhormat daripada menjadi seorang perempuan somahan.  —Ronggeng Dukuh Paruk

Tahun 1960an di desa Dukuh Paruk. Srintil – gadis kencur yang belum sekali pun melihat pentas ronggeng, tiba-tiba menembang dan menari dengan begitu gemulai, erotis dan sensual. Penduduk desa itu percaya Srintil telah dirasuki roh indang ronggeng, wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan.  Srintil tak ayal didapuk menjadi ronggeng Dukuh Paruk.  Ronggeng adalah seorang penari dan penembang tradisional yang tidak hanya menarik bayaran tinggi untuk pentasnya, tapi juga untuk jasa seksualnya.  Ronggeng adalah milik semua orang, dan ini jugalah yang kemudian menimbulkan keretakan hubungan Srintil dengan kawan laki-laki sepermainannya, Rasus, yang pergi meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi tentara.

Demikian novel trilogi novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (2003), yang kemudian diadaptasi menjadi film Sang Penari. Film yang dibidani oleh Ifa Ifansyah ini menyabet berbagai penghargaan tertinggi, di antaranya sebagai film terbaik, sutradara terbaik, dan pemeran utama wanita terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2011, mengisahkan bagaimana sang ronggeng kemudian dituding sebagai pemberontak PKI, ditangkap dan dibui.

Ronggeng yang berabad lalu mendapat tempat cukup terhormat di Nusantara, kemudian terkikis “kehormatannya” dan bahkan menjadi bahan ledekan dan korban politik pada masa modern.

Foto studio penari ronggeng dengan orkestra gamelan (1870-1900). Koleksi KITLV / Tropenmuseum

Catatan paling lama mengenai ronggeng ditemukan dalam cuplikan Kakawin Negarakertagama (Spiller 2010).  Kata ronggeng dipercaya berasal dari kata Sanskrit, renggana, yang berarti dewi perempuan, meskipun ada juga yang mengatakan berasal dari bahasa Kawi Wara Anggana, yang berarti “perempuan sendiri”.  Thomas Stamford Raffles menulis dalam mahakaryanya, The History of Java (1817: 342-344), bahwa ronggeng adalah “gadis-gadis penari yang paling umum di negeri ini” yang tidak jarang juga menjual jasa seksual dalam layanan mereka.

Kedekatan petani dan ronggeng tidak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa tarian itu awalnya adalah ritual pemujaan yang berkaitan dengan kesuburan tanah dan keberhasilan panen.  Beberapa legenda dan mitos menceritakan bagaimana ritual tarian tayuban dilakukan oleh sekelompok laki-laki untuk menghormati Dewi Sri (dan berbagai versi lokalnya, seperti Nyi Pohaci dalam bahasa Sunda).  Pada relief-relief candi Jawa pun kita banyak melihat ukiran laki-laki menari dan menembang mengelilingi perempuan.  Mereka menari mengelilingi seorang perempuan yang dianggap merepresentasikan Dewi Sri.  Pada perkembangannya, perempuan ini pun kemudian ikut menari menjadi ronggeng, sementara gerakan tarian dan aktivitas seksual ronggeng dipercaya sebagai merepresentasikan sekaligus mempengaruhi kekuatan dan kesuburan alam (Spiller 2010: 84).

Pengaruh Hindu juga terlihat dalam Tantu Panggelaran, yang ditulis sekitar abad 16-17, yang menceritakan asal-usul penari wanita sehubungan dengan tiga dewa Hindu (Brahma, Shiwa dan Wisnu).  Mereka menjelma menjadi seniman jalanan, menembang (mangidung) atau menari (amen-amen). Versi yang lebih modern (dengan pengaruh Islam) dalam bentuk cerita rakyat menceritakan bagaimana tiga seniman, yaitu seorang tukang kayu, penjahit dan pengrajin emas terinspirasi Allah untuk membuat dan mendandani satu patung kayu perempuan.  Seorang wali membuat patung tersebut menjadi hidup, dan atas perintah Allah mentitahkan tiga seniman tersebut untuk menemani sang perempuan mengadakan pertunjukan keliling menari dan menyanyi (Brakel-Papehuyzen 1995).  Tiap laki-laki memainkan alat musik yang sesuai dengan profesi mereka sebelumnya: si tukang kayu memainkan rebab, penjahit memainkan kendang, dan pengrajin emas memainkan ketuk (gong kecil).

Tradisi menari, menembang, dan seksualitas ronggeng berurat akar dalam masyarakat tradisional agraris, di mana simbol-simbol dan praktik seksualitas, dalam kehidupan sehari-hari ataupun abstrak, dipandang sebagai jimat yang menjamin kesuburan dan keberhasilan panen.  Memang, sebagai daerah yang memiliki kombinasi arus niaga dan tradisi agraris kuno, Asia Tenggara telah lama dikenal memiliki, mengakui, dan melegitimasi tradisi gender dan seksualitas yang jauh lebih beragam, pluralistik dan kreatif daripada belahan dunia lainnya seperti Cina, India, Eropa dan Timur Tengah (lihat Andaya 2006; Onghokham 1991; Peletz 2009; Reid 1992). Ini terlihat dari bagaimana nilai wanita tidak pernah dipertanyakan di Asia Tenggara, sebagaimana halnya di Cina, India dan Timur Tengah.  Perbedaan utama yang mencolok adalah bagaimana dalam hubungan wanita dengan laki-laki, perempuan memiliki otonomi dan kontrol sosial yang setara (bahkan terkadang lebih tinggi), dengan peran aktif dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, agama dan ritual, diplomasi dan pemerintahan. Selain itu otonomi relatif ini juga berlaku dalam masalah seksual: perempuan Asia Tenggara memainkan peran aktif dan memiliki kedudukan yang kuat dalam bercumbu dan bermain cinta. Peran reproduktif mereka (yang sulit ditandingi pria) tampaknya memberi mereka kekuatan magis dan ritus sebagai lambang kesuburan masyarakat dan tanah Asia Tenggara yang agraris.

Namun, sekitar abad ke-17 dan ke-18, timbul beberapa perubahan besar dalam struktur sosial budaya Asia Tenggara, yang terutama disebabkan oleh: (1) proses peningkatan arus perniagaan, pembentukan negara, dan konsolidasi daerah untuk membangun sistem politik yang lebih tersentralisasi dan birokratis, dan (2) masuknya agama-agama seperti Islam, Kristen, dan Konfusianisme yang lebih berorientasi pada laki-laki, dan tidak memberi ruang pada sentralitas peran ritual perempuan (dan transgender).

Perubahan struktur sosial, politik dan ekonomi ini memberi dampak timbulnya perubahan dan kontrol terhadap norma-norma tradisional—otonomi dan kekuasaan perempuan, serta nilai-nilai hakiki seksualitas sebelumnya kemudian mengalami erosi prestise dan legitimasi (lihat Peletz 2010; Andaya 2006).  Terutama sehubungan dengan kolonialisme, bangsa-bangsa Eropa menempatkan dan mengkonstruksi berbagai praktik dan simbol seksualitas sebagai bukti “keprimitifan” dan “ketidakberadaban” penduduk lokal.

Sebagai contoh, dalam catatan Raffles yang disebutkan sebelumnya, penari ronggeng digambarkan memiliki “easy virtue” (tidak mempedulikan moral), nyanyiannya “kasar dan aneh”, dan karena itu “menjijikkan untuk orang-orang Eropa”, tapi selalu disukai dan disambut riuh tepukan dan tawa penonton pribumi lokal (Raffles 1817: 342-344).  Meskipun pada praktiknya, sudah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas penguasa kolonial sendiri menyambut baik kesempatan menikmati keleluasaan pengalaman seksual yang lebih “eksotis”, jauh dari pengawasan tanah air mereka (Said 1978: 190).

***

Ronggeng merepresentasikan dualisme sakral/profan, feminitas perempuan suci/pelacur.  Di satu sisi ia melambangkan sisi magis, bahkan kesucian, tapi di sisi lain juga naluri berahi, nafsu. Berdasarkan adat Dukuh Paruk, Srintil harus melalui dua tahapan sebelum dia berhak menyebut dirinya sebagai ronggeng.  Pertama adalah upacara permandian yang secara turun-temurun dilakukan di depan cungkup makan Ki Secamenggala, leluhur warga Dukuh Paruk. Di Banyumas, dikatakan bahwa sebenarnya calon ronggeng tidak saja dituntut pandai menari dan menyanyi, tapi juga wajib menjalani berbagai ritual, antara lain berpuasa dan mengunjungi beberapa pemakaman leluhur (Yuliastuti 2011). Kedua, calon ronggeng harus menjalani bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya pada lelaki yang berani membayar termahal.

Lukisan dua penari ronggeng dengan orkestra gamelan (1854). Koleksi KITLV / Tropenmuseum

Menariknya, kekasih Srintil, Rasus, awalnya juga memanifestasikan emaknya yang telah meninggal dalam diri Srintil.  Bayangan ini pecah ketika Rasus menyadari bahwa sebagai seorang ronggeng, Srintil adalah milik semua orang (terutama yang bisa membayar). Rasus, karena tak mampu membayar “jasa” Srintil, akhirnya keluar dari Dukuh Paruk, dan menjadi tentara.

Jelas, ada dimensi ekonomi yang dominan dalam profesi ronggeng.  Spiller mengatakan bahwa berbeda dengan perempuan Sunda lainnya yang tidak bisa   terang-terangan menunjukkan perhitungan ekonomi, ronggeng dengan terbuka meminta kompensasi ekonomi untuk semua jasanya.

Dalam novel ini, diceritakan bahwa jasa Srintil diperjualbelikan melalui perantara (mucikari) dukun ronggeng, yakni suami istri Kertareja.  Pada sayembara bukak klambu, mereka bahkan menipu dua lelaki sehingga mereka mendapatkan bayaran dobel untuk mendapatkan keperawanan Srintil (yang sudah tidak perawan lagi—Srintil sendiri mengakali mereka semua dengan sebelumnya melakukan hubungan seks pertama kali dengan Rasus).  Masing-masing laki-laki dibuat mengira dialah yang berhasil mendapatkan kekuasaan menggendaki Srintil untuk pertama kalinya.  Memang, melalui penghasilannya dan baselan, hadiah personal yang diberikan padanya sebagai ronggeng, Srintil menjadi salah satu perempuan terkaya di Dukuh Paruk.  Tapi tak jarang suami istri Kartareja mengambil bagian yang lebih besar daripada bagian yang diterima oleh Srintil.

Nyai Kertareja juga sering tak segan-segan meminta—dan menuntut—Srintil untuk terus meronggeng ketika Srintil sendiri tidak menginginkannya, seperti saat Srintil berduka ditinggal Rasus, atau saat Srintil sudah trauma menjadi ronggeng setelah dipenjara dua tahun.  Nyai Kertareja juga di awal karir Srintil memijit indung telur Srintil hingga mati karena hukum Dukuh Paruk mengatakan karir seorang ronggeng terhenti sejak kehamilan pertamanya.

Kemunculan seorang ronggeng disambut riang oleh baik laki-laki maupun perempuan.  Berbeda dengan status “perempuan penghibur” pada umumnya, ronggeng di lingkungan pentas tidak menimbulkan kecemburuan perempuan Dukuh Paruk.  Bahkan, perempuan-perempuan itu berlomba-lomba memanjakan Srintil, sang wong ayu ronggeng Dukuh Paruk, memberinya berbagai kemewahan yang mereka miliki, mulai dari pisang, kutang, bedak, hingga suami mereka sendiri.  “Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya.  Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun berahinya” (Tohari 2003: 39).  Ada kebanggaan status sosial jika suaminya berhasil menggendak seorang ronggeng.

***

Menjadi ronggeng, yang diterimanya sebagai tugas hidup, ialah menjadi pemangku naluri primitif; naluri berahi yang membebaskan diri dari norma dan etika yang menyusul kemudian.  Itulah dunianya, kesadarannya.  Dalam kesadaran itu Srintil merasa pasti ada sesuatu yang hilang ketika dia berpentas pada rapat-rapat propaganda itu.  Srintil takkan pernah mampu berkata demikian.  Namun nalurinya secara pasti merasakan adanya pendangkalan makna keberadaannya. Ronggeng adalah keperempuanan yang menari, menyanyi serta kerelaan melayani kelelakian.  Dia pastilah bersifat mandiri dan mendasar. —Ronggeng Dukuh Paruk  (Tohari 2003: 231-232)

 Dalam novel ini, Tohari menggambarkan dampak peristiwa G30S/PKI, di mana Dukuh Paruk dan kelompok ronggengnya dihancurkan karena dianggap tersangkut kegiatan PKI. Pak Bakar, seorang tokoh partai yang ahli berpidato dan kebapakan, menggunakan pentas ronggeng Dukuh Paruk (yang diganti namanya menjadi “ronggeng rakyat”) untuk meramaikan propaganda, rapat dan hajatan partai.  Mereka mendapat imbalan-imbalan seperti upah yang tinggi, perangkat pengeras suara, kain dan perlengkapan lainnya untuk Srintil dan para penabuh calung.  Pintu masuk ke Dukuh Paruk dihias lambang dan slogan partai (yang tak bisa dibaca seorangpun warga Dukuh Paruk yang buta huruf), sementara tembang-tembang pengiring tarian diubah menjadi syair berisi slogan-slogan partai.

Warga Dukuh Paruk tidak memiliki sarana batin untuk memahami konsep ideologi partai yang dijabarkan di depan mereka, dan sebenarnya merasa risih—bahkan ngeri—melihat perubahan-perubahan terjadi pada pentas ketika ia dijadikan motor propaganda politik.  Tapi bagaimanapun, mereka sulit menolak keterlibatan politik ini setelah merasa terikat semacam utang budi kebaikan-kebaikan Bakar.  Puncaknya adalah ketika ratusan penonton partai mabuk dan kemudian beramai-ramai membuat kerusuhan merojeng padi dari sawah-sawah entah milik siapa.  Orang-orang Dukuh Paruk yang ngeri dan sesungguhnya tidak mengerti duduk persoalan maupun propaganda-propaganda partainya, menolak dilibatkan dengan kerusuhan-kerusuhan seperti itu lagi, dan mengundurkan diri dari kegiatan partai.

Namun, karena kemudian kehormatan situs keramat mereka—makam leluhur Ki Secamenggala—dirusak, warga Dukuh Paruk menjadi emosi dan kembali terseret dalam arus politik, yang akhirnya menghancurkan Dukuh Paruk. Pedukuhan kecil itu divonis terlibat pengguncangan negara, dan dibakar.  Kelompok ronggeng dan penabuh calungnya ditangkap, dibui, dan seumur hidupnya Srintil didiskriminasi sebagai ET (eks tapol).

Sebelumnya, perlu dicatat bahwa pemanfaatan seni untuk politik bukanlah hal yang unik dilakukan PKI atau Lekra.  Berbagai partai lainnya, di dalam maupun luar negeri, merekayasa berbagai seni (“tradisional” ataupun tidak) sebagai alat kampanye pembangunan, keluarga berencana, dan lain-lain.  Kedua, meskipun Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel fiktif, dan tokoh-tokoh di dalamnya adalah rekaan pengarangnya, tak bisa disangkal, pengalaman-pengalaman seperti ini—ditangkap, dipenjara, seumur hidupnya dikenai stigma Eks Tapol—banyak terjadi pada banyak seniman tradisional, baik laki-laki maupun perempuan.  Menurut Tohari, jumlah perempuan yang ditapolkan pasca-peristiwa ’65 sangatlah besar, mengingat di daerah Banyumas saja, hampir semua kelompok kesenian ronggeng “di-lekra-kan” (Salim HS 2004: 7).

Stigmatisasi itu berjalan dengan cukup sistematis dan efisien, mengingat waktu itu PKI benar-benar menjadi momok semenjak 1965.  Seperti ludruk (lihat Peacock, 1968), reog, dan berbagai kesenian tradisional lainnya, ronggeng sempat dilarang keberadaannya karena diidentikkan dengan kegiatan PKI, dan unsur seksualitasnya disesuaikan dengan wacana pemerintah.  Hasilnya adalah penyusutan peran dan status ronggeng, karena ia menjadi pekerjaan yang mengerikan dan tidak lagi terlegitimasi.  Di Banyumas, hanya tinggal segelintir kelompok ronggeng yang tersisa semenjak pentas ronggeng dilarang pentas malam.  Pelarangan ini diberlakukan karena ronggeng diidentikkan dengan kecabulan, perkelahian dan alkohol (meskipun hal yang sama sebenarnya juga berlaku pada pentas dangdut).  Di akhir novelnya pun, tokoh Rasus melihat Dukuh Paruk desanya sebagai bebal, jorok dan cabul.  Seni yang dulunya berkaitan erat dengan kepercayaan dan ritual masyarakatnya ini, sebagaimana para pelakunya, tercerabut dari akarnya dan hanya menjadi hiburan tanpa akar ataupun ritual dengan masyarakat (Yuliastuti 2011).

Dari uraian di atas tampak bahwa tubuh dan seksualitas ronggeng menjadi suatu arena pertarungan berbagai kepentingan yang terus mengalami perubahan.  Seksualitas merupakan suatu arena kontestasi berbagai kepentingan—biologis, psikologis, ekonomi, kultural, hingga politik. Aktivitas seksual yang bersifat privat menjadi bagian dari fungsi sosial ketika ia berkaitan dengan kelangsungan hidup dirinya dan orang-orang sekitarnya.  Dalam prosesnya, ketika seksualitas ditujukan entah sebagai sarana prokreasi, untuk aspek ekonomi, kepuasan hasrat, kepuasan psikologis, hingga “tuntutan masyarakat”, seksualitas membutuhkan orang lain sebagai perantara.

Sejarah membuktikan bahwa Indonesia dulu memiliki keanekaragaman seksualitas yang luar biasa, di mana seks tidak dipandang sebagai masalah “moral” tetapi bahkan berkaitan erat dengan kepercayaan, keseimbangan alam dan kesuburan.  Kerentanan terhadap stigmatisasi, ketidakamanan dan ketakutan yang berasal dari ketidakadilan sosial dan dinamika politik adalah beberapa unsur utama yang mengikis keterhubungan dan rasa percaya satu sama lain yang diperlukan dalam masyarakat pluralistik. Unsur-unsur ini juga berpengaruh mengembangbiakkan tendensi absolutis dalam keluarga, politik, agama, seksualitas, dan aspek kehidupan sosial lainnya.

Endnotes

[1] Ini juga terjadi di lingkungan keraton, sebagaimana terlihat misalnya di Candi Sukuh dan Candi Ceto dengan pemujaan simbol-simbol seksual lingga dan yoni.  Di Kraton Solo, seperti juga di Candi Sukuh, alat kelamin laki-laki (raja) dipahat di depan pintu gerbang dan di belakangnya dipahat vagina (ratu) sebagai pusaka dan gambaran magis (Rizal 2001). Perhatikan juga bagaimana dalam bahasa Sunda Kawi, hubungan seksual adalah ngiwi, ng+iwiNg menerangkan kata kerja, sementara iwi adalah kata yang menghormati perempuan.  Dari iwi muncullah kata dewi dan pratiwi (n.n. 2002: 1).

[2] Ada pula versi bukak klambu yang berbeda, yaitu dimandikan oleh dukun ronggeng pada malam ketujuh (Yuliastuti 2011).

[3] Namun beberapa penari ronggeng menyangkal bahwa semua ronggeng menjajakan jasa seksual (Yuliastuti 2011).

[4] Apalagi karena seniman-seniman perempuan ini kebanyakan berkiprah di bidang pertunjukan yang jauh lebih ketat dikontrol daripada bidang sastra dan rupa (yang relatif dilakukan dalam lingkungan privat daripada pertunjukan yang publik), sulit bagi mereka untuk kemudian muncul dan berkarya kembali (lihat Salim HS 2004).

[5] Reog yang awalnya menampilkan warok dan gemblak laki-laki, pun mengalami penyesuaian semasa Orde Baru.  Untuk menghapuskan unsur homoerotik yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai pembangunan, gemblak diganti menjadi perempuan. Lebih lanjut, lihat Kadir (2007: 91-103).

Daftar Pustaka

Andaya, Barbara Watson.  The Flaming Womb: Repositioning Women in Early Modern Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press, 2006.

Brakel-Papenhuyzen, Clara.  “Javanese Talèdhèk and Chinese Tayuban” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 151(4): 545-569. 1 Oktober 1995.

Kadir, Hatib Abdul. Tangan Kuasa dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia.  Yogyakarta: Insist Press, 2007.

Rizal, JJ.  “Seks dalam Konsep Kerajaan Kuno.”  Kita Sama Kita: Ragam Budaya dan Sejarah Nusantara 1(2): .

Onghokham. “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial.” Prisma 20(7): 70-83.  1991.

Peacock, James L.. Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia.  Depok: Desantara, 2005.  Diterjemahkan dari Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. Chicago: The University of Chicago, 1968.

Peletz, Michael G.. Gender Pluralism: Southeast Asia Since Early Modern Times.  New York & London: Routledge, 2010.

Said, Edward.  Orientalism.  New York: Vintage, 1978.

Salim HS, Hairus. “Luka dan Stigma “Para Srintil”” Gong 59: (6)5-10. 2004.

Spiller, Henry.  Erotic Triangles: Sundanese Dance and Masculinity in West Java.  Chicago & London: The University of Chicago Press, 2010.

Tohari, Ahmad.  Ronggeng Dukuh Paruk.  Jakarta: Gramedia, 2003.

Yuliastuti, Dian, dkk.  “When Art is Blameless” Asia Views: Regional Insights, Global Outreach No. 11/XII/08-14 November 2011


This article has been published as “Ronggeng Dukuh Paruk: Seksualitas & Penghayatan Sang Penari” in Bhinneka vol. 8, February 2012, pp. 20-28.

Citation:
Azali, Kathleen. 2012.  “Ronggeng Dukuh Paruk: Seksualitas & Penghayatan Sang Penari” in Bhinneka vol. 8, pp. 20-28.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *