Terjemahan dari tulisan Jennifer Howard, “Secret Lives of Readers,” The Chronicle of Higher Education, 17 Desember 2012: http://chronicle.com/article/Secret-Reading-Lives-Revealed/136261/
Buku mengungkap diri mereka sendiri. Apakah mereka hadir dalam bentuk cetak ataupun pixel, buku dapat dibaca dan diperiksa dan diungkap rahasianya. Pembaca, sebaliknya, jauh lebih sukar dipahami. Mereka meninggalkan jejak—catatan di pinggir halaman, noda pada jilidan—tapi petunjuk-petunjuk penanganan buku itu bercerita dengan sangat terbatas. Pengalaman membaca hilang dengan pembaca.
Bagaimana kita mendapatkan kembali pengetahuan dan pengalaman membaca dari masa lalu? Akhir-akhir ini akademisi telah meningkatkan perburuan mereka untuk mendapatkan bukti bagaimana orang-orang, seiring dengan berjalannya waktu, berinteraksi dengan buku, koran, dan materi cetak lainnya.
“Anda mencari noda air mata di atas halaman,” ungkap Leah Price, profesor Sastra Inggris di Universitas Harvard, dan penulis How to Do Things With Books in Victorian Britain (Princeton University Press, 2012). “Anda mencari bukti nyata apa yang buku itu lakukan pada pembaca”—dan apa yang pembaca lakukan pada buku.
Penelitian Price terletak pada kumpulan investigasi mutakhir yang sedang berkembang mengenai sejarah membaca. Bidang ini mengambil dari berbagai bidang lainnya, termasuk sejarah buku dan bibliografi, kritisisme sastra dan sejarah sosial, serta kajian komunikasi. Bidang ini melihat ke belakang ke era pra-Gutenberg, kembali ke tablet tanah liat dan gulungan naskah peradaban kuno, dan ke depan ke perdebatan saat ini mengenai bagaimana teknologi mengubah cara kita membaca. Meskipun banyak pencaharian seringkali berpusat pada kebudayaan Anglo-Amerika dari tiga atau empat abad yang lalu, bidang ini telah mengembangkan lingkupnya, dengan peneliti menemukan berbagai sejarah membaca yang tersembunyi dari berbagai kebudayaan yang acapkali dikatakan mayoritas berbudaya lisan[1].
Ini adalah usaha yang cukup sulit. Seorang bibliografer bekerja dengan bukti fisik—naskah, buku cetak, salinan dari Times London. Seorang peneliti yang berupaya untuk mengkaji pembaca dari masa lalu seringkali harus membaca yang tak terungkap di antara baris-baris tulisan. Tulisan-tulisan di pinggir buku dapat menjadi sumber utama informasi mengenai pemilik dan pembaca buku, tapi keberadaannya jarang. “Seringkali, kebanyakan pembaca dari zaman dulu, dan hingga sekarang, tidak menulis di buku mereka,” jelas Price.
Tapi bahkan penampilan buku yang kurang tergunakan dapat dibaca sebagai bukti. “Perpustakaan John F. Kennedy Library di Boston memiliki satu eksemplar buku Ulysses yang halamannya—selain beberapa halaman di awal dan di akhir—tampak sama sekali belum tergunakan,” katanya. “Ini menjelaskan sesuatu pada kita mengenai pemiliknya—yang kebetulan adalah Ernest Hemingway.”
“Sejarah membaca,” kata Price, “sebenarnya juga harus meliputi sejarah tidak membaca.”
Siapapun yang pernah memajang kumpulan buku sebagai piala di atas meja tahu bahwa orang-orang melakukan banyak hal dengan buku selain membacanya. Sebuah buku dapat digunakan sebagai tanda tingkat intelektual atau aspirasi seseorang. Buku juga dapat digunakan untuk membangun batasan sosial antara suami istri di meja makan, atau dengan orang asing di kereta. Buku dapat dipilah-pilah dan didaur ulang menjadi seni. Karya Price menciptakan ulang berbagai penggunaan buku di luar teks.
Kajian sebelumnya mengenai teori pembaca-penerima (reader-reception theory) dan sejarah buku membantu membawa pada penelitian saat ini mengenai pembaca dan membaca. Di tahun 1984, Janice Radway, menerbitkan terobosan kajiannya, Reading the Romance, yang menyelidiki bagaimana membaca novel membantu sekelompok perempuan di Midwest bertahan menghadapi tuntutan dan batasan kehidupan mereka. Radway, seorang profesor komunikasi di Universitas Northwestern, melanjutkan menulis A Feeling for Books, mengenai Klab Buku-Bulan-Ini dan sensibilitas literer kelas menengah, serta menulis bersama seri sejarah, yang terdiri dari berbagai bagian, mengenai buku di Amerika. Semenjak Reading the Romance, etnografi membaca mulai berkembang di kalangan cendekia. Radway menunjuk pada Forgotten Readers, kajian Elizabeth McHenry mengenai masyarakat literer Afrika-Amerika, Writing with Scissors oleh Ellen Gruber Garvey mengenai scrapbooking, dan City Reading oleh David Henkings mengenai tanda-tanda di lingkungan urban, sebagai contoh yang kuat. “Orang-orang menjadi sangat kreatif dalam berupaya memahami bagaiman sekelompok pembaca berinteraksi dengan teks sebagaimana terwujud dalam berbagai bentuk,” ucapnya.
Sejarawan buku memiliki pengaruh penting dalam perkembangan sejarah membaca. Sebagai contoh, di tahun 1996, Robert Darnton, sejarawan Prancis abad ke-18, menerbitkan The Forbidden Best-Sellers of Pre-Revolutionary France, di mana dia berpednapat bahwa which he argued that pembacaan diam-diam buku-buku terlarang membantu menyalakan mesiu Revolusi Prancis. Darnton, sekrang direktur perpustakaan Universitas Harvard, telah menerbitkan sekumpulan buku penting mengenai sejarah penerbitan dan penggunaan buku.
Di tahun 2001, Jonathan Rose, profesor sejarah Universitas Drew, membalikkan asumsi mengenai apa yang dibaca ataupun tidak dibaca oleh kaum non-elit Briton dalam The Intellectual Life of the British Working Classes. Rose, yang mendirikan bersama the Society for the History of Authorship, Reading, and Publishing, sekarang ini sedang mengerjakan kajian mengenai bacaan Winston Churchill, bagaimana ini membentuknya, dan bagaimana membaca Churchill kemudian mempengaruhi politisi-politisi yang lebih muda, termasuk John F. Kennedy.
Akademisi juga telah mengembangkan sejarah membaca di luar konteks Anglo-Amerika. Di tahun 2003, Isabel Hofmeyr, profesor sastra Afrika di Universitas Witwatersrand, di Afrika Selatan, menerbitkan The Portable Bunyan, yang mengkaji Pilgrim’s Progress sebagai “buku transnasional” dengan pembaca dari seluruh dunia, termasuk di daerah sub-Sahara Afrika. Tahun ini, Archie L. Dick, profesor ilmu informasi dari Universitas Pretoria, menerbitkan The Hidden History of South Africa’s Book and Reading Cultures (University of Toronto Press).
Jika sejarah buku sudah cukup terbangun, sejarah membaca baru saja terbentuk dalam dua dasawarsa terakhir, menurut Shafquat Towheed, pengajar Sastra Inggris di Universitas Terbuka di Inggris, dan direktur dari Reading Experience Database, atau RED. “Kami mulai mendapati mahasiswa mempelajari itu sebagai pilihan di tingkat pascasarjana dan sarjana,” kata Towheed.
Keberadaan sumber online seperti RED telah membantu mendorong bidang ini. Digagas oleh Simon Eliot, seorang lagi tokoh berpengaruh dalam sejarah membaca, RED didirikan sejak 1990an, tapi baru saja diperbaiki sebagai sumber online di tahun 2006.
Tim penelitinya menelusuri perpustakaan dan arsip untuk segala catatan mengenai kegiatan membaca yang terekam dalam karya terbitan maupun naskah tulisan. Basis data ini dibangun dari surat-surat, buku harian, buku-buku sehari-hari, biografi ataupun memoar, dan sumber lain seperti catatan penjara dan pengadilan. Para peneliti ini telah meminta bantuan dari masyarakat pendukung penulis untuk mencari referensi mengenai penulis-penulis tertentu. Semenjak basis data ini berpindah online, mereka telah membukanya menjadi terbuka untuk crowdsourcing, mengajak sukarelawan untuk menyumbangkan catatannya juga.
Basis data dengan akses terbuka (open-access) ini mengkoleksi catatan pengalaman membaca Inggris sejak 1450-1945, dan telah mengumpulkan 31,000 rekaman sejauh ini. “Inggris” di sini mencakup siapapun yang lahir dan tinggal di Inggris selama periode tersebut. Pengguna dapat mencari menggunakan kata kunci, pembaca, atau pneulis. Tiap catatan mencantumkan (estimasi terdekat) tanggal pengalaman membaca; di mana membaca dilakukan (di London, di rumah, dan sebagainya); siapa yang membaca (usia, gender, pekerjaan, dan sebagainya); apa yang mereka baca; apakah mereka membaca sendiri atau dengan orang lain.
Satu sumber yang sangat kaya adalah Laporan Kerja Old Bailey, pengadilan kriminal pusat London, yang catatannya semenjak 1674 hingga 1913 baru saja dipasang online. Sumber penting lainnya adalah karya Henry Mayhew, London Labour and the London Poor, satu catatan epik yang terdiri dari banyak jilid, diterbitkan oleh wartawan di 1951 berdasarkan penyelidikannya mengenai bagaimana kelas pekerja dan kelas bawah hidup di kota. Menjelajahi materi-materi seperti ini menghidupkan kembali pengalaman pembaca zaman dulu. Dalam esai yang berhubungan dengan RED, “Reading Culture in the Victorian Underworld,” Rosalind Crone, pengajar sejarah di Universitas Terbuka, mengingat beberapa anekdot dari penjelajahan Mayhew di tengah-tengah penduduk London yang kurang beruntung: “Si pembuat perangkap tikus yang cacat, ‘untuk satu jam bacaan ringan’, membaca Paradise Lost Milton dan sandiwara Shakespeare. Sementara pembuat manisan membeli kertas cetak buangan untuk membungkus produknya dari toko alat tulis atau dari toko buku tua—sambil dia membaca tulisannya sebelum dia menggunakan kertas tersebut, ‘dengan cara ini dia dapat membaca habis dua Sejarah Inggris.’”
Jumlah data terbanyak RED berasal dari abad ke-19, era yang banyak direpresentasikan dalam tulisan dan arsip. Arsip ini berusaha mencakup lebih dari periode tersebut, dan juga untuk “berinternasionalisasi,” ucap Towheed. Projek RED telah didirikan di Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Belanda.
Edmund King, salah satu peneliti projek, mengawai operasi sehari-hari basis data tersebut. Dia bergabung dengan RED di 2010 untuk mencari referensi mengenai membaca di zaman Perang Dunia I—salah satu prioritas penelitian RED, dengan seratus tahun konflik yang ada pada kita.
“Untuk beberapa lama saya telah pergi ke berbagai arsip dan perpustakan di Inggris dan pada dasarnya membaca semua surat dan buku harian, dan melihat apa yang dapat saya temukan,” kata King. Dia telah mengumpulkan kira-kira 2.000 catatan Perang Dunia I, yang telah menghasilkan kilasan mengenai membaca di tengah-tengah parit. Berlawanan dengan stereotipe dari 1920 dan 1930an yang mengatakan bahwa serdadu di garis depan membaca propaganda atau brosur yang menggembar-gemborkan kecintaan pada tanah air, King mengatakan, “Perasaan saya membaca buku harian serdadu itu adalah bahwa mereka mencari sesuatu untuk melarikan diri, escapist, untuk mengingatkan mereka pulang.”
Keluarga-keluarga mengirimkan koran-koran lokal pada anak-anak lakinya yang bertugas. “Membaca koran lokal sangatlah populer,” katanya. Begitu pula fiksi yang mengingatkan mereka pada masa kecil, dan membiarkan mereka melarikan diri, jika hanya pada halaman buku. “Fiksi petualangan remaja menjadi bagian besar kehidupan mereka.”
Katie Halsey, saat ini mengajar Sastra Inggris abad 18 di Universitas Stirling, juga bekerja sebagai peneliti di projek RED. Pekerjaannya ini membawanya menghasilkan buku Jane Austen and Her Readers, 1786-1945 (Anthem Press), diterbitkan tahun ini.
Halsey menulis disertasinya mengenai Austen. “Saya ingin mencari informasi mengenai pembacanya, tapi itu sangat sulit dilakukan,” katanya. Sebelum RED, “tidak ada tempat untuk memulainya.”
“Tidak ada yang tertarik pada hal seperti itu,” katanya, “kemungkinan karena ini begitu sulit dilakukan” atau karena akademi tidak pernah terlalu peduli mengenai apa yang orang biasa katakan mengenai buku.
Selama dia di RED, rekannya memberi tips mengenai kelompok membaca Quaker di Reading yang telah melakukan pertemuan sejak 1890an. “Hal fantastik mengenainya adalah bahwa mereka menyimpan catatan tertulis untuk setiap pertemuannya,” kata Halsey.
Mempelajari respon pembaca Jane Austen selama 200 tahun mengkonfirmasi apa yang Halsey sangka selama ini: “Janeites” cenderung merasakan kedekatan personal pada penulis dan “membangun komunitas yang berhubungan dengannya.” Kelompok membaca Quaker melakukan pembacaan dramatis Austen ketika mereka pertama kali membaca Austen, ujar Halsey, dan terus kembali ke karya Austen sepanjang waktu.
Penekanan RED untuk menghidupkan kembali pengalaman pembaca biasa berkaitan erat dengan Simon Eliot, profesor sejarah buku di School of Advanced Study, Universitas London. Eliot mengatakan dia mendapatkan ide untuk RED 20 tahun yang lalu di tempat parkir di Coventry. Dia baru saja menghadiri konferensi mengenai membaca di mana kebanyakan makalah memfokuskan perhatiannya pada satu orang pembaca yang mencolok. “Saya khawatir bahwa terlalu banyak kajian dibuat berdasarkan pada kasus-kasus yang agak anomali, agak luar biasa, dan karenanya tidak dapat diandalkan.”
Untuk setiap Pepys atau Johnson atau Woolf, ada ribuan orang yang hanya… membaca. Di mana mereka? Eliot ingin mengetahui apa yang dia sebut sebagai “pembaca omnibus Clapham.” Apa, di mana, dan bagaimana orang biasa, bagaimanapun mereka didefinisikan, sebenarnya membaca?
Yang memuat perhatian khusus adalah buku sehari-hari, kata Eliot, merujuk pada campuran atau buku buram (scrapbook) yang disimpan orang untuk membantu mereka mengingat berbagai hal yang mereka baca. Buku-buku keseharian khususnya populer ketika kertas masih jarang dan mahal, sebelum revolusi pertengahan abad ke-19 dalam teknologi pembuatan kertas menyebabkan pengusaha berganti menggunakan bubur kayu yang jauh lebih murah dan mudah tersedia. “Seringkali orang menyalin sebagian besar novel, karena mereka tidak mampu membelinya,” kata Eliot.
Peneliti yang terlibat di RED tidak hanya menginginkan daftar materi bacaan. “Tidak cukup hanya merekam pengalaman membaca. Kami juga ingin tahu di mana membaca dilakukan,” kata Eliot. Jadi mereka dengan teliti memastikan bahwa bentuk catatan basis data dapat memuat informasi deskriptif lainnya mengenai pengalaman membaca. Apakah pengalaman pembaca dengan buku terjadi di siang hari atau dengan menggunakan lilin? Apakah buku dibaca keras-keras, atau dengan diam sendiri? Sambil bergerak, atau di ranjang? Eliot bercerita mengenai bentuk pembacaan berseling yang dilakukan dalam perjalanan dengan kereta kuda, di mana pembaca yang terguncang-guncang di atas jalan bergerunjal di abad ke-18 dan 19 mungkin menikmati beberapa menit bersama buku di penginapan ketika kusir berhenti untuk mengganti kudanya, seperti bagaimana pelancong sekarang membaca di ruang tunggu bandara sebelum lepas landas.
Pembaca zaman sekarang, setidaknya di Barat, cenderung tidak terlalu memusingkan apakah akan memiliki sesuatu untuk dibaca, ataupun penerangan yang cukup, “karena buku dan penerangan begitu murah,” kata Eliot. Pembaca Inggris di zaman dulu tidak seberuntung itu. Kecuali mereka mampu menggunakan lampu minyak atau lilin beeswax, mereka harus menggunakan lilin yang bau dan berantakan dari lemak. Sumber-sumber cahaya yang tidak sempurna ini memerlukan perawatan yang rutin dan merupakan sumber bencana api. Dalam kondisi seperti itu, “membaca harus dikoreografikan,” kata Eliot. “Anda harus berheti dan memangkas” sumbu lilin dan menghindari resiko terbakar. Koran Inggris merupakan sumber informasi berharga mengenai kondisi membaca dan bagaimana ini dapat mematikan. “Salah satu catatan dalam the Timesmenceritakan mengenai seorang perempuan di kamar tidurnya, sudah bersiap tidur, membaca naskah sandiwara, dan kemudian lilinnya mengenai rambutnya, dan kemudian dia ditemukan terbakar,” kata Eliot, “Bahkan, tampaknya dia tidak selamat.”
Naskah sandiwara yang ditemukan di sebelah kursi perempuan tersebut adalah materi bacaan yang popular dan ramah dompet: semacam proto-paperback versi abad ke-19, dipasarkan ke massa pembaca jauh sebelum Penguin. “Biasanya mereka sepanjang 20-30 halaman,” katanya. “Mereka dibungkus kertas. Mereka akan dijual dengan harga enam pence, seringkali satu penny atau dua pence.”
Catatan kriminal kadang-kadang juga memuat detil yang menguakkan. Sebagai contoh, Eliot menyebutkan deskripsi mengenai pencopet yang mendapatkan untung dari orang-orang yang “bergerombol membaca poster terbaru” dari acara teater. Catatan-catatan seperti ini, bersamaan dengan fotografi dan ilustrasi dari kota Victoria, dan novel—Dickens menceritakan kertas-kertas yang berterbangan di kota—menghidupkan kembali pengalaman sehari-hari. “Orang-orang di abad ke-19 berjalan di tengah-tengah hutan cetak,” katanya.
“Pembacaan sementara (ephemeral)” seperti ini jelasnya adalah apa yang tidak orang catat dalam buku hariannya atau dalam buku buram, atau pada surat kepada teman. “Meskipun kamu menulis dalam buk harian yang rahasia, apakah kamu akan mengungkapkan bahwa kamu menghabiskan waktu membaca paket sereal?” tanya Eliot. “Aku kira tidak.”
Memang salah satu aspek paling membingungkan dan kompleks dari mengkaji sejarah membaca adalah bagaimana menghidupkan kembali kegiatan dan tanggapan yang tidak pernah di- atau terekam sejak awal. Sebagai peneliti literer, Leah Price berada dalam usaha untuk memaknai teks. Dalam buku terbarunya, How to Do Things With Books in Victorian Britain, Price memperhatikan tidak saja isi buku tadi juga bagaimana orang-orang di zaman Victoria menggunakannya untuk menciptakan atau mengontrol relasi sosial. Buku “dapat digunakan baik sebagai jembatan ataupun sebagai benteng antara orang,” katanya. Dia merujuk pada novel dan cerita Victoria untuk mengungkap bukti bagaimana orang-orang Victoria menggunakan buku untuk merayu dan menolak. Dia juga menggunakan sumber-sumber nonfiksi, termasuk panduan pembawaan diri, koran dan majalah, dan karya Mayhew London Labour and the London Poor.
Price memberi gambaran yang luas dan bergeser mengenai penggunaan buku di luar membaca. Karena kertas mahal dan karenanya berharga di Inggris awal abad ke-19, orang-orang menggunakan dan mendaur ulang kertas. Buku bisa disobek jilidnya dan halaman-halamannya digunakan untuk membuat pola baju, mengalasi koper atau membungkus kue pai. Apa yang awalnya berupa teks dapat berubah menjadi kertas toilet. Hasilnya, kata Price, “bahkan orang yang tidak bisa membaca, karena alasan kelas ataupun jenis kelamin, tetap memiliki pemahaman klasifikasi kertas yang cukup canggih.” Mayhew mencatat, sebagai contoh, bahwa penjual makanan menyukai koran jenis tertentu karena karakteristik menyerap atau tahan lembap kertas koran.
Seiring dengan teks yang bersikulasi, mereka memicu ketegangan kelas dan sosial. Majikan kelas atas merasa khawatir jika dia menyentuh buku yang telah disentuh pembantunya, dia akan terkena implikasi (apapun) dari kontak tersebut. “Ada banyak perantara di antara tubuh majikan dan tubuh pembantu,” jelas Price. Bayangkan saja ritual mengantarkan surat di atas baki.
Setelah 1850, kemunculan perpustakaan umum membawa—memaksa?—pembaca dari berbagai kelas yang berbeda untuk bertemu dalam kontak yang lebih dekat. Ini menimbulkan perdebatan mengenai materi bacaan seperti apa yang cocok untuk umum, kata Price. Beberapa perpustakaan melarang halaman lomba berkuda untuk mengurangi perjudian, sebagai contoh.
Orang-orang Victoria juga khawatir mengenai buku sebagai sumber penyakit—“ada pertanyaan mengenai buku ini sudah ke mana saja,” kata Price. Proposal bermunculan agar mesin disinfektan buku untuk dipasang di perpustakaan. “Kebanyakan alat pengasap,” katanya. “Tapi ada banyak prototipe yang didesain.”
Akses yang lebih mudah ke materi bacaan juga menciptakaan ketegangan lain yang berhubungan dengan kelas, meski bukan seperti yang disangka Price. “Saya awalnya menyangka, bahwa laki-laki kelas menengah akan mengkhawatirkan pembantunya membaca materi-materi politis,” katanya. Tapi yang dia temukan adalah mereka lebih khawatir mengenai pencurian waktu. Jam yang dihabiskan untuk membaca, bahkan untuk Alkitab, adalah jam yang dihabiskan tidak bebersih atau melakukan tugas lainnya. Buku panduan untuk perempuan dewasa dan anak-anak pun, mewanti-wanti pembaca untuk tidak membiarkan buku mendistraksi perempuan dari tugas mereka.
Terkadang majikan memaksa memberikan materi bacaan kepada pembantunya. Majikan perempuan dapat memberi materi relijius pada pembantunya. “Ini adalah tawaran yang tidak dapat kamu tolak,” kata Price. “Salah satu yang mengejutkan saya mengenai jenis hubungan manusia yang diperantarai oleh buku pada periode ini adalah Anda melihat pergeseran yang dramatis dari awal abad ke-19.” Awalnya, ada perasaan bahwa buku adalah komoditas berharga. Menjelang akhir abad, ada perasaan bahwa “buku adalah sesuatu yang dibawakan atau dipaksakan ke inferior oleh superior.”
Teks dapat menjadi undangan untuk hubungan yang tak diinginkan, ata penanda untuk mendefinisikan batasan rumah tangga. Dalam hubungan romantis, buku dapat memainkan peran perantara, tapi juga pemecah. “Di satu sisi, buku digunakan untuk pendekatan—laki-laki memberikan satu eksemplar buku yang dia belikan khusus pada seorang perempuan, mungkin dengan beberapa baris digarisbawahi untuk mendapatkan perhatiannya,” kata Price. “Tapi di sisi lain, Anda punya buku sebagai batas—suami dan istri yang mengacuhkan satu sama lain di meja makan,” satu sibuk membaca novelnya, satu koran.
Dalam novel Anthony Trollope The Small House at Allington, Price menemukan salah satu contoh keras pembentukan jarak domestik. Di tengah bulan madu, pasangan yang tidak cocok dalam kereta, merasa lebih nyaman dengan materi bacaan mereka daripada dengan orang lain.
Trollope mendeskripsikan adegannya: “Si laki-laki merindukan Times-nya, tapi memutuskan bahwa dia tidak akan membaca kecuali pasangan perempuannya membaca dulu. Pasangan perempuannya juga mengingat novelnya; tapi pada dasarnya dia lebih sabar daripada si laki-laki, dan dia mengira dalam perjalanan seperti ini membaca dalam bentuk apapun terasa kurang sopan.”
Orang-orang Victoria juga menggunakan teks untuk memberi jarak dalam ruang non-romantis. Dengan persebaran transportasi umum, “koran tumbuh bersama jalur komuter sebagai cara untuk menghindari kontak mata,” kata Price. Seperti pengendara subway atau bis modern yang saat ini menenggelamkan diri mereka dalam telpon genggam, komuter di abad ke-19 dapat melarikan diri mereka secara virtual dari jejalan kepadatan sekitar dengan memasang tembok kertas antara mereka dan orang lain. “Orang-orang Victoria menggunakan buku sebagaimana kita menggunakan smartphones,” sebagai semacam tanda “Jangan Ganggu (Do Not Disturb)”, kata Price.
Seiring dengan berjalannya abad, kertas juga bergeser menjadi sesuatu yang dihindari. “Jika seseorang berdiri di ujung jalan membagi-bagikan pamflet, Anda tidak akan mengambilnya,” sementara di awal dasawarsa Anda akan menerima kertas apapun, kata Price. Dia menunjukkan bahwa, seiring dengan bergesernya pembuatan kertas berbasis kain ke kayu, perubahan pada sistem perpajakan Inggris membuat kertas menjadi jauh lebih murah. Ini membuat makin ekonomis penerbit buku, koran dan pamflet untuk mencetak dan menyebarkan barangnya.
Perubahan dalam sistem pos di pertengahan abad juga membuat lebih murah distribusi kertas yang lebih banyak ini. Para pengubah sistem pos “ingin mendemokratisasikan pengetahuan,” katanya. Tapi mereka “tidak melihat bahwa sistem baru postal ini akan digunakan terutama untuk mendistribusikan katalog” dan hal-hal lainnya. Sebagaimana dikatakan Price, orang-orang Victoria “sebenarnya menciptakan apa yang sekarang kita sebut sebagai spam.”
Bayang-bayang pergeseran sikap Victoria ini juga terbawa dalam era membaca digital. Abad ke-19 memiliki kertas murah; kita memiliki konten elektronis yang melimpah. Sebagaimana terjadi dengan orang-orang Victoria, limpahan ini merubah bagaimana kita sebagai suatu budaya memperlakukan buku fisik. Untuk setiap bibliophile yang memuja bentuk fisik buku sebagai objet d’art, ada seseorang yang menunggu untuk merubahnya untuk tujuan yang berbeda, tujuan non-tekstual. Price menunjuk pada berbagai penggunaan ulang buku yang muncul di situs seperti Etsy, dengan berbagai pengrajin merubah buku menjadi dompet dan objek lainnya yang tidak berhubungan dengan buku.
“Ada kesadaran yang sangat meningkat saat ini mengenai penggunaan nontekstual buku,” katanya. “Sekarang dengan makna tekstual buku berpindah online, yang tertinggal sekarang adalah cangkang kosong.” Dulu seperti juga sekarang, menghilangkan nilai objek terkadang menciptakan penekanan pada isi. “Melihat ke sejarah abad ke-19 membuat Anda sadar bahwa fenomenon yang cenderung kita tuduh pada digitalisasi sebenarnya terjadi seabad sebelumnya,” kata Price. “Ketika kamu membuangnya, nilai buku menjadi berada dalam kata-kata di dalamnya dan bukannya potensi penggunaan ulangnya.”
[1] Catatan penerjemah: Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mungkin adalah salah satunya. Meski seringkali dikatakan sebagai negara berbudaya lisan, bukti sejarah dari abad 16-17 menunjukkan bahwa penduduk di Jawa dan Bali memiliki kemampuan baca tulis yang bahkan jauh lebih luas tersebar di kalangan penduduknya dibandingkan dengan di Eropa atau di Tiongkok. Lihat bab terakhir di buku Anthony Reid (1988).