“Untuk kenang-kenangan
pada suatu zaman yang dinamakan Orde Baru”
Buku ini berisi seleksi kumpulan tulisan Ariel Heryanto yang pernah diterbitkan di berbagai majalah dan koran—antara lain, Kompas, Forum Keadilan, Dialog, Tiara, TEMPO, dsb—selama 14 Mei 1976 hingga 12 Juni 1998. Atau dengan kata lain, pada masa-masa kejayaan hingga jatuhnya Orde Baru. Tentu saja, banyak dari tulisan-tulisan yang diterbitkan media massa ini sudah dipotong dan disunting oleh redaksi, entah dengan atau tanpa persetujuan Ariel. Namun bagaimanapun juga, kumpulan tulisan ini berharga karena tidak hanya menampilkan pandangan Ariel, tapi juga berbagai serpihan pikiran yang mencerminkan (institusi pers pada) zamannya.
Tulisan dalam buku ini dibagi menjadi empat bagian: (1) Politik kebudayaan dan kapitalisme, (2) Politik bahasa dan wacana media, (3) Politik kekerasan dan wacana-tanding, dan (4) Politik identitas dan pemujaan gaya hidup. Subjek yang dibahas bermacam-macam, tapi erat berkaitan dengan bagaimana bahasa, gaya hidup, kelas menengah, seksualitas, pendidikan, kebudayaan, nasionalisme, kasat diresapi dan tak dapat dipisahkan dari politik dan teknologi kekerasan. Termasuk ketika kita (diwajibkan) berbahasa yang “baik dan benar”, dengan menggunakan bahasa yang bukan bahasa sehari-hari mayoritas penduduk negeri ini.
Bahasa yang menghidupi dan dihidupi rakyat kebanyakan dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai ancaman terhadap bahasa nasional yang halal atau dianggap sebagai bahasa nasional yang “keliru dan jelek”. Bahasa demikian dianggap perlu ditindas. Sebagai gantinya dipasarkan bahasa yang disebut “baik dan benar”. Orang kebanyakan hanya diminta menadah produk dari atas itu sebagai konsumen, lewat kurikulum wajib di sekolah yang hanya mampu menampung sebagian kecil dari orang kebanyakan, di samping rubrik konsultasi di media massa yang diasuh oleh kaum profesional.
Dari pembahasan-pembahasan ini kita melihat bagaimana ini semua diarahkan pada satu tujuan: kepatuhan. Di sisi lain, kita juga melihat bagaimana wacana-tanding dan perlawanan tetap hidup. Ariel bisa mengamati hal-hal ini dengan tajam dan kritis, tanpa terbius dalam romantika aktivisme dan konfrontasi. “Perlawanan yang kelihatan paling konfrontatif tidak selalu sama dengan perlawanan paling radikal, fundamental, atau subversif.”
“Antara Dulu dan Sekarang” perlu dibaca oleh mereka yang merasa anak muda dulu—di bawah represi Orde Baru, atau “pas dulu gue masih muda”—lebih idealis, memiliki tujuan bersama, dan musuh yang lebih jelas.
Alkisah, di zaman kolonial banyak anak muda Indonesia yang idealis. Umur mereka baru mendekati atau melewati 20 tahun, tetapi karya mereka luar biasa. Konon pula, mereka berjiwa pejuang, bermoral tinggi, berani membela kebenaran, hak-hak asasi manusia dan solidaritas nasional…
Disadari ataupun tidak, pengisahan masa lampau semacam itu mengungkapkan kerinduan. Semacam ratapan bahwa pada masa ini tidak kita jumpai lagi kaum muda yang serbahebat seperti di zaman kolonial. Dan karena itu, masa lampau senantiasa memukau. Senantiasa lebih indah dari aslinya.
Masa lampau dibuat (biasanya tanpa sadar) lebih indah sebanding dengan bobot keckecewaan dan derita masyarakat masa kini. Ingat, orang di zaman kolonial pun memandang masa-masa sebelumnya lebih indah daripada masa hidup mereka. Sejarah selalu selalu berada di masa kini, walau mengais-ais belukar masa lampau.
Ideologi dominan dalam masyarakat menyodorkan jawaban lain. Langka atau punahnya gerakan kaum muda pada masa Orde Baru dianggap bersumber dari perginya kekuasaan kolonial Belanda dari Tanah Air. Pandangan ini kuat sangat meluas. Bahkan beberapa aktivis mahasiswa juga ikut terserang ideologi dominan ini. Menurut mereka: “Zaman sekarang sangat lain daripada zaman kolonial Belanda. Dulu musuhnya jelas, sekarang tidak.”
Sungguh keliru jika zaman kolonial dibilang sangat berbeda dengan zaman Orde Baru dengan alasan musuh di zaman kolonial kelihatan jelas. Kekuasaan kolonial diselimuti oleh orang-orang dari bangsa terjajah sendiri. Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan, 90% aparat negara kolonial adalah orang-orang “Indonesia”. Mereka menjadi tentara kolonial, juru ketik, jaksa dan mata-mata kolonial. Mereka menangkap, menginterogasi, mengadili serta memenjarakan para aktivis muda.
Enam belas tahun setelah Reformasi, kita mendapati diri telah melalui separuh zaman Orde Baru. Beberapa pembahasan mungkin terulang-ulang, mengingat ini adalah bunga rampai dari berbagai media, tapi buku ini sangat cocok dibaca sekarang untuk mengingatkan kita tentang Orde Baru yang akhir-akhir ini mengalami semacam romantisasi.
Entah bagaimana caranya, tapi kita perlu mencari cara untuk memperkaya pendidikan sejarah—dan juga bahasa dan sastra—yang masih belum banyak berubah. Membuat kelompok studi (sejarah abad 20 ke atas, terutama), terbitan berkala (web, jurnal?), yang berjejaring dengan berbagai ruang alternatif lintas kota? (Saya terpikir mencoba menerapkannya di Ayorek!…) Kemudian, bagaimana supaya bisa berdampak dan berkelanjutan? (Saya masih tidak tahu jawabannya.) Bagaimana membawa kembali sejarah dan sastra yang apik dalam kurikulum? (Saya masih gemas melihat kenapa kenapa di sekolah kita dicekoki buku-buku pelajaran dengan kualitas meragukan, sementara ada buku-buku terbitan Kobam dan Marjin Kiri yang sangat perlu dimasukkan ke sekolah-sekolah.)
Membaca tulisan terbaru Ariel mengenai Pemilihan Presiden 2014 lalu, bangsa kita, mungkin tak lagi murung. Tapi semoga, masih ada sedikit ruang untuk merenung.
Catatan: Cek himpunariel untuk membaca berbagai tulisan Ariel Heryanto di media.
Perlawanan dalam Kepatuhan: Esai-esai Budaya
Ariel Heryanto
Editor: Idi Subandy Ibrahim
Penerbit: Mizan, 2000