Cornell-NY bag. 1: 15th Southeast Asian Graduate Studies Conference

Tulisan ini adalah liputan konferensi pascasarjana tahunan ke-15 kajian Asia Tenggara yang diselenggarakan di Kahin Center for Advanced Research on Southeast Asia, Cornell University, Ithaca, New York, pada 1-3 Maret 2013. Saya masih hutang satu lagi tulisan lain mengenai perjalanan saya secara keseluruhan. Tapi yah, silakan baca ini dulu.

Keynote
Pembukaan utama oleh Lindy Williams, profesor sosiologi pembangunan

Penyelenggaraan konferensi dikelola oleh mahasiswa-mahasiwa pascasarjana, dengan panitia Jack Chia, Matt Reeder, dan Courtney Work. Mereka bertiga dengan sangat baik memastikan kenyamanan peserta secara formal maupun informal. Mulai dari logistik seperti transportasi, akomodasi, hingga evaluasi abstrak dan makalah, menghubungkan dengan jejaring teman mereka, serta menghubungi (dan menghubungkan dengan) editor jurnal SOJOURN untuk kemungkinan publikasi naskah yang memenuhi kualifikasi.

Ceramah utama Dalam ceramah utama pembukaan konferensi, Prof. Lindy Williams dari sosiologi pengembangan menyampaikan presentasinya berjudul W(h)ither State Interests in Intimacy? yang merupakan kajian komparatif tiga negara, Thailand, Indonesia, dan Singapura, dalam menangani kebijakan reproduksi. Terutama kasus Indonesia dan Singapura banyak membuat kami terkekeh-kekeh melihat kampanye-kampanyenya yang ajaib. (Pemerintah Singapura dengan tampak putus asa berusaha menjodoh-jodohkan dan mendorong penduduknya yang tampaknya terlalu stress untuk berpacaran dan beranak-pinak.) Dari data yang Lindy kumpulkan, tampaknya mengkonfirmasi kecenderungan kehidupan kota dan tingkat pendidikan tinggi menimbulkan tingkat fertilitas dan pernikahan yang lebih rendah….

Tema dan panel konferensi Karena keragaman topik dan wilayah kajian, mungkin sekilas cukup sulit untuk mencari benang merahnya, tapi panitia membaginya menjadi enam panel: (1) On the Origins and Consequences of Institutions, (2) Colonial Facework: Labors of British, Dutch and French Prestige-Management, (3) Cinemascapes of Modernity (4) National Imaginings: Object and Technique (5) Engagement with the State through Reform and Resistance (6) Karma, Charisma, and Conversion in Contemporary Thai Religious Life. Seorang pembahas, yang juga berperan sebagai pembuka dan penutup, ditugaskan pada tiap panel. Ada penjaga waktu di kursi terdepan, di sini dilakukan oleh Chairat Polmuk, mahasiswa S2 dari Thailand, untuk memastikan pembicara tidak melebihi 20 menit dengan menayangkan kertas-kertas bertuliskan “10 minutes”, “5 minutes”, “3 minutes” “1 minute”, “Please end :)”.

(Mungkin terdengar tidak penting, tapi menurut saya ini sangat diperlukan—tapi seringkali diabaikan di banyak konferensi (di Indonesia)—untuk memastikan para peserta mendapatkan porsi waktu yang setara. Saya senang penjagaan waktu diperhatikan, meski waktu untuk saya terasa berjalan begitu cepat ketika saya berdiri (dengan gemetar dan keringat dingin) di depan.)

Kebetulan saya presentasi di panel pertama. Mendengarkan ulang rekaman presentasi saya membuat saya sedikit depresi, kikuk dan terbata-bata, tapi ya sudahlah. Saya jelas perlu lebih banyak belajar berbicara di depan umum. Dan saya sangat bersyukur bahwa para peserta memberi banyak sekali masukan berharga, dan bahwa mereka tertarik dengan perpustakaan-perpustakaan yang saya presentasikan.

PERINGATAN: karena sudah lewat beberapa minggu, ingatan saya sangat tidak merata. Saya hanya menuliskan yang saya ingat. Dan ada juga kemungkinan saya salah mendapatkan maknanya. Ini hanya catatan saya untuk memberi gambaran presntasi yang ada—kalau ingin lebih rinci, tunggu naskah-naskah mereka terbit, jangan mendasarkan pada tulisan ini. Ada baiknya melihat dulu daftar lengkap presentasi di situs Cornell SEAP.

Continue reading “Cornell-NY bag. 1: 15th Southeast Asian Graduate Studies Conference”

Digital_Humanities, and design

I’m enjoying Digital_Humanities, by Anne Burdick, Johanna Drucker, Peter Lunenfeld, Todd Presner, Jeffrey Schnapp (MIT Press, 2012). It has been very helpful in providing a thorough, comprehensive introduction to Digital Humanities, considering the diverse, patchwork nature of this emerging field. It elaborates on its histories, methodologies, giving us case studies, social life and a short guide. An Open Access edition is available for free download from the MIT Press website. Here’s a long but insightful excerpt from page 12-16 on its intersections with designers and technologists: Continue reading “Digital_Humanities, and design”

Indonesian National Seminar on Open Access: the Future of Repositories and Scholarly Publishing

Seminar Nasional Open Access: the Future of Repositories & Scholarly Publishing. Petra Christian University. January 28, 2013.
Petra Christian University. January 28, 2013.

Last October, I wrote a short article titled “Open Access in Indonesia?” for the Networked Researcher Open Access Week 2012 Blogging Unconference. My article was borne out of my unawareness and perplexity, since back then, although we could find Indonesian journals listed under DOAJ, and many green standard self-archiving initiatives, I could not find any comprehensive information on Open Access initiative in Indonesia, other than the directory of 44 Indonesia Open Access journals. Sarah Wiley has helped pointing out that LIPI has its own Institutional Repository, but it also seems to follow the green standard of self-archiving instead of the gold standard.

Last January, 28, however, we had a national seminar, titled “Open Access: The Future of Repositories and Scholarly Publishing”, held in three universities across Indonesia—Petra Christian University in Surabaya, University of Indonesia in Jakarta, and University of North Sumatra in Medan. I had the chance to attend the one in Surabaya, organised by Petra Christian University, Goethe Institute and the East Java branch of University Library Forum in Indonesia.

The first speaker, Urs Schoepflin from the Max Planck Institute for the History of Science gave us a brief and succinct overview of the evolution of Open Access ideas and declarations, the milestones, the summary of motivations, and the Open Access process and declaration in Berlin.

The second speaker, Putu Laxman Pendit, is perhaps better known among Indonesian librarians for his sharp and critical observations and writings on librarianship, particularly in the ICS (the Indonesian CyberLibrary Society) mailing list, as well as his strong advocates for Indonesian librarians to take a more active role in knowledge production and dissemination.

Continue reading “Indonesian National Seminar on Open Access: the Future of Repositories and Scholarly Publishing”

The Restoration of an Indonesian classic, Lewat Djam Malam

This article was first published in film.culture360.org, a website that connects Asia and Europe through film, on January 3, 2013.

About Lewat Djam Malam 

Usmar Ismail’s Lewat Djam Malam (After the Curfew) is a classic 1954 Indonesian film set in the aftermath of the revolution that brought an end to the Dutch colonial rule. While obscure to most people unfamiliar with the history of Indonesian cinema, to many Indonesian film aficionados, it is regarded as one of the best—if not the best—Indonesian films. In May 2012, after a long and arduous restoration project, it was screened at the opening of Cannes Classic.

Yet, a couple of years ago, the remaining reels of  Lewat Djam Malam were threatened into degeneration inside the vault of Sinematek Indonesia.

It is a condition shared by almost 3,000 other Indonesian film titles kept inside the non-profit film archive, where tropical, hot and humid environment quickly ruins delicate material. At least once a year some newspaper or magazine bemoans the dismal condition of Sinematek Indonesia. According to Lisabona Rahman, the manager of the Kineforum Program, who is currently taking her Master’s degree in film preservation in Amsterdam, not more than 10% of these titles were in an acceptable condition.

Read full article here:
http://film.culture360.org/magazine/the-restoration-of-an-indonesian-classic-lewat-djam-malam/

Kehidupan Rahasia Pembaca

Terjemahan dari tulisan Jennifer Howard, “Secret Lives of Readers,” The Chronicle of Higher Education, 17 Desember 2012:  http://chronicle.com/article/Secret-Reading-Lives-Revealed/136261/


Buku mengungkap diri mereka sendiri. Apakah mereka hadir dalam bentuk cetak ataupun pixel, buku dapat dibaca dan diperiksa dan diungkap rahasianya. Pembaca, sebaliknya, jauh lebih sukar dipahami. Mereka meninggalkan jejak—catatan di pinggir halaman, noda pada jilidan—tapi petunjuk-petunjuk penanganan buku itu bercerita dengan sangat terbatas. Pengalaman membaca hilang dengan pembaca.

Bagaimana kita mendapatkan kembali pengetahuan dan pengalaman membaca dari masa lalu? Akhir-akhir ini akademisi telah meningkatkan perburuan mereka untuk mendapatkan bukti bagaimana orang-orang, seiring dengan berjalannya waktu, berinteraksi dengan buku, koran, dan materi cetak lainnya.

“Anda mencari noda air mata di atas halaman,” ungkap Leah Price, profesor Sastra Inggris di Universitas Harvard, dan penulis How to Do Things With Books in Victorian Britain (Princeton University Press, 2012). “Anda mencari bukti nyata apa yang buku itu lakukan pada pembaca”—dan apa yang pembaca lakukan pada buku.

Penelitian Price terletak pada kumpulan investigasi mutakhir yang sedang berkembang mengenai sejarah membaca. Bidang ini mengambil dari berbagai bidang lainnya, termasuk sejarah buku dan bibliografi, kritisisme sastra dan sejarah sosial, serta kajian komunikasi. Bidang ini melihat ke belakang ke era pra-Gutenberg, kembali ke tablet tanah liat dan gulungan naskah peradaban kuno, dan ke depan ke perdebatan saat ini mengenai bagaimana teknologi mengubah cara kita membaca. Meskipun banyak pencaharian seringkali berpusat pada kebudayaan Anglo-Amerika dari tiga atau empat abad yang lalu, bidang ini telah mengembangkan lingkupnya, dengan peneliti menemukan berbagai sejarah membaca yang tersembunyi dari berbagai kebudayaan yang acapkali dikatakan mayoritas berbudaya lisan[1].

Ini adalah usaha yang cukup sulit. Seorang bibliografer bekerja dengan bukti fisik—naskah, buku cetak, salinan dari Times London. Seorang peneliti yang berupaya untuk mengkaji pembaca dari masa lalu seringkali harus membaca yang tak terungkap di antara baris-baris tulisan. Tulisan-tulisan di pinggir buku dapat menjadi sumber utama informasi mengenai pemilik dan pembaca buku, tapi keberadaannya jarang. “Seringkali, kebanyakan pembaca dari zaman dulu, dan hingga sekarang, tidak menulis di buku mereka,” jelas Price.

Tapi bahkan penampilan buku yang kurang tergunakan dapat dibaca sebagai bukti. “Perpustakaan John F. Kennedy Library di Boston memiliki satu eksemplar buku Ulysses yang halamannya—selain beberapa halaman di awal dan di akhir—tampak sama sekali belum tergunakan,” katanya. “Ini menjelaskan sesuatu pada kita mengenai pemiliknya—yang kebetulan adalah Ernest Hemingway.”

“Sejarah membaca,” kata Price, “sebenarnya juga harus meliputi sejarah tidak membaca.”

Siapapun yang pernah memajang kumpulan buku sebagai piala di atas meja tahu bahwa orang-orang melakukan banyak hal dengan buku selain membacanya. Sebuah buku dapat digunakan sebagai tanda tingkat intelektual atau aspirasi seseorang. Buku juga dapat digunakan untuk membangun batasan sosial antara suami istri di meja makan, atau dengan orang asing di kereta. Buku dapat dipilah-pilah dan didaur ulang menjadi seni. Karya Price menciptakan ulang berbagai penggunaan buku di luar teks.

Continue reading “Kehidupan Rahasia Pembaca”

The missing third leg

“Something’s missing that once was essential to me and is so no longer. I don’t need it anymore, as though I had lost a third leg that until then kept me from walking but made me a stable tripod. It’s that third leg that’s now missing. And I’ve gone back to being someone I never was. I’ve gone back to having something I never had before: just my two legs. I know that I can walk only when I have two legs. But I sense the irrelevant loss of the third one, and it horrifies me, it was that leg that made me able to find myself, and without even having to look.” — Clarice Lispector, The Passion According to GH

Pembentukan perspektif Australia terhadap Indonesia

Tulisan ini saya buat untuk tugas kuliah. Semoga berguna.


Pada tanggal 28 Oktober 2012, Perdana Menteri Australia Julia Gillard meluncurkan buku putih (white paper) Australia in the Asian Century, yakni sebuah “peta perjalanan untuk memandu Australia menjadi negara yang lebih maju dan berkembang, sebagai bagian dari daerah [Asia Pasifik] yang terbuka pada dunia,” sebagaimana dituliskan pada situs resminya  (Australian Government, 2012).

Menilik lebih lanjut dari situs tersebut, diuraikan bahwa pemerintah Australia menugaskan pembuatan buku putih ini sejak September 2011, untuk mempertimbangkan perubahan-perubahan ekonomis dan strategis pada wilayah Asia dan apa yang dapat dilakukan untuk memposisikan Australia pada abad Asia. Mereka melihat bahwa kencangnya skala dan laju perubahan Asia memiliki dampak yang sangat besar pada Australia yang memiliki kedekatan geografis. Ini memberi Australia posisi unik untuk “mengambil keuntungan dari perkembangan pengaruh wilayah Asia”  (Australian Government, 2012).

Continue reading “Pembentukan perspektif Australia terhadap Indonesia”

Open Access in Indonesia?

Note: This article was first published in Networked Researcher for Open Access Week 2012 Blogging Unconference. Complete proceeding has been anthologised by Ernesto Priego and can be downloaded from the Networked Researcher.


I have enjoyed and used the fruits of various Open Access works and initiatives, but to the best of my knowledge, there is not yet an established, comprehensive Open Access initiative in Indonesia. (Googling “Open Access Indonesia”, I found an Indonesian Open Access Initiative, unfortunately last updated four years ago.) In this writing, I am going to write down some observations and thoughts, based on my own modest experience navigating scholarly publications in Indonesia. Hopefully this sketch can contribute in mapping out the conditions and potentials of Open Access in developing worlds.

Continue reading “Open Access in Indonesia?”

Lakon vol. 1 no. 1

Pada terbitan perdana ini, Lakon tidak menawarkan tema khusus dalam rangkaian artikel-artikelnya. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan mewadahi dan menyebarluaskan wacana dan gagasan kritis mahasiswa magister sastra dan budaya, dan karenanya turut mengembangkan kajian sastra dan budaya di Indonesia. Edisi yang lebih tepat disebut sebagai bunga rampai ini menampilkan banyak isu mengenai representasi Indonesia beserta dinamika representasi regional.

Lakon diterbitkan oleh Magister Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga. Jurnal ini menerima karya ilmiah orisinal dari mana pun yang belum pernah diterbitkan, atau ulasan buku/film yang memfokuskan pada sastra dan budaya.

Continue reading “Lakon vol. 1 no. 1”