Notes on gramps & docos

I’m jotting these down as references for an ultra-secret project. Those of you who have had the unfortunate chance of hearing me gush about the motley of gramps who have tottered down the library, will perhaps find sparks of delights and ideas in these biographical docos.

Drool over Blanchett’s androgynous Dylan. But check Scorsese’s version. I quite enjoyed the soundtrack too.

This is thus far, our favourite frame of reference. Ultimate gramp love.

Derrida (2002) is perhaps not as engaging as Bill Cunningham New York (though diehard fans and exegetes-to-be (and their not-to-be cousins twice removed) might beg to differ). You can feel the awkwardness of the American filmmakers, and the condescending yet at the same time exceedingly self-conscious Derrida trying to make points across these (gasp) Américaines. The incredibly self-conscious high priest of French deconstructionism in bath robe, getting his thinning hair cut, and visibly uncomfortable over questions of amantes sunt amentes in front of his wife.

More biography docos: IMDB list

Wikipedia: Globalisasi dan Desentralisasi

Makalah singkat ini saya tulis untuk ujian akhir semester dalam kelas Kajian Budaya Kontemporer. Mungkin sudah outdated, tapi yah, siapa tahu masih berguna.


Di awal abad ke-21, Bell (2001: 193-194) mencatat bahwa ada dua permasalahan utama dalam melakukan penelitian (atau pencarian) di internet, yaitu: (1) Mulai dari mana? Sangat mudah untuk kehilangan fokus di internet dengan information overload-nya.  Menggunakan internet untuk mencari suatu informasi bisa menjadi terasa seperti memasuki suatu labirin yang penuh dengan fragmen-fragmen informasi, atau memasuki perpustakaan tanpa rak, dengan semua buku tidak tersusun tapi bergelimpangan campur aduk. (2) Ephemerality, yakni begitu mudahnya informasi-informasi tersebut menghilang.  Situs-situs website mudah muncul dan mudah menghilang.

Di tahun yang sama dengan penerbitan buku Bell (2011), Wikipedia diluncurkan.  Sekarang, satu dekade setelahnya, Wikipedia tampak seperti satu alternatif solusi untuk menjawab dua permasalahan mendasar tersebut.  Dengan peringkat tinggi pada pencarian Google, pengguna internet tak ayal sering memulai pencarian informasinya dengan menggunakan artikel Wikipedia sebagai titik awal untuk mendapatkan gambaran mendasar mengenai suatu topik, dan kemudian menelusuri tautan-tautan yang dicantumkan untuk mendapatkan informasi yang lebih spesifik.  Sementara permasalahan ephemerality di mana informasi-informasi tersebut begitu mudah menghilang, mendapat jawaban dalam bentuk pengarsipan tiap suntingan artikel di halaman “View History” (atau “Versi terdahulu”, dalam Wikipedia Indonesia).

Didirikan di tahun 2001, Wikipedia adalah ensiklopedi online dengan lisensi bebas yang isinya dapat disunting oleh siapapun.  Diakui atau tidak, ensiklopedi ini telah menjadi salah satu sumber referensi pertama dalam pencarian informasi di internet.  Ketika Wikipedia melakukan blackout sebagai aksi protes mereka terhadap SOPA (Stop Online Piracy Act), tak ayal banyak mahasiswa, pelajar dan jutaan pengguna yang sudah sangat terbiasa menggunakan Wikipedia sebagai sumber rujukan utama mereka menjadi panik (Tsukayama, 2012).

Kini Wikipedia merupakan ensiklopedi terbesar di dunia dari takaran jumlah artikel, kontributor, dan pengguna, dengan statistik di tahun 2009 sebagai berikut: lebih dari 2,5 juta artikel dalam bahasa Inggris, meski artikel dalam bahasa Inggris tidak sampai sepertiga dari total artikel Wikipedia. Lebih dari 800.000 artikel dalam bahasa Jerman, lebih dari 500.000 artikel dalam Wikipedia edisi bahasa Prancis, Polandia, dan Jepang.  Total, ada 25 edisi Wikipedia dengan bahasa yang berbeda, tiap edisi sedikitnya memiliki 100.000 artikel.  Ada 10 juta artikel yang ditulis dengan lebih dari 200 bahasa (Lih, 2009: xii-xiii)[1].

Projek ini merupakan hasil kolaborasi dari sukarelawan-sukarelawan dari seluruh dunia.  Siapapun yang memiliki akses internet dapat menulis dan menyunting artikel Wikipedia (kecuali dalam beberapa kasus di mana suntingan dibatasi untuk mencegah vandalisme).  Pengguna Wikipedia dapat memilih melakukan kontribusi secara anonim, dengan menggunakan nama samaran, atau dengan identitas asli mereka. Pengguna bebas untuk meng-copy, memodifikasi, dan mendistribusikan isi dari Wikipedia, baik yang sudah dimodifikasi ataupun tidak, secara komersil maupun tidak.

Namun keabsahan dan dominasi Wikipedia seringkali dipertanyakan. Pertanyaan yang biasanya muncul adalah, jika semua orang bisa menulis dan menyunting artikel Wikipedia, bagaimana dengan pertanggungjawaban kredibilitas dan profesionalitasnya?  Bisakah berbagai sukarelawan yang tak dikenal, tak dibayar, dan tanpa kualifikasi yang jelas menghasilkan artikel-artikel yang berkualitas?

Continue reading “Wikipedia: Globalisasi dan Desentralisasi”

Toute la mémoire du monde

About a month ago, over cuppas of kopi tubruk we talked about the state of archiving in Indonesia, particularly of the Library of H.B. Jassin. Right now I have this usual gnawing itch, worrying that if I don’t write this down, the 30-minute lamentation is going to be yet another 30-minute of, well, nothingness. On top of the fact that my English is deteriorating and I’ve promised myself to write anything to exercise the sluggish bilingual nerves—if I ever had any.

So this is my version of all the memories of the world. Things I wish I could have said then or now, but didn’t, for the (largely self-inflicted) fear of hearing the reply, “No, we can’t, it’s too complicated…” You listen to how the archives are being dutifully preserved through photocopying, and you are flooded with both frustration and tenderness you can’t quite get the back of, lest you swallowed your smart aleck remark and all your big plans of world domination through scanning and digitisation. Where Google Books are foundering in the courts, another initiative, Digital Public Library of America (DPLA) is yet to realise their promise.

Continue reading “Toute la mémoire du monde”

Review: Rumah Abu Han, a historic ancestral house in Surabaya

My review of Rumah Abu Han documentary by Kevin Reinaldo Arffandy, has been published in IIAS Newsletter 59, Spring 2012. We had the privilege of having the film screened in C2O Library in August 2011, supported by Surabaya Tempo Dulu and Center for Chinese Indonesian Studies. Ir. Lukito Kartono, Robert Rosihan (the owner of Rumah Abu Han), and Arffandy himself

You can read the event report in c2o library website (in Indonesian) and read the review on IIAS publication.

Ronggeng Dukuh Paruk: Seksualitas & Penghayatan Sang Penari

Dulu Srintil sangat percaya bahwa penghayatan versi ronggeng lebih unggul karena tiadanya tertib susila, sehingga wilayah penghayatannya adalah kelelakian secara umum, bukan kelelakian dalam diri seorang lelaki tertentu.  Karenanya dulu Srintil yakin menjadi seorang ronggeng lebih terhormat daripada menjadi seorang perempuan somahan.  —Ronggeng Dukuh Paruk

Tahun 1960an di desa Dukuh Paruk. Srintil – gadis kencur yang belum sekali pun melihat pentas ronggeng, tiba-tiba menembang dan menari dengan begitu gemulai, erotis dan sensual. Penduduk desa itu percaya Srintil telah dirasuki roh indang ronggeng, wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan.  Srintil tak ayal didapuk menjadi ronggeng Dukuh Paruk.  Ronggeng adalah seorang penari dan penembang tradisional yang tidak hanya menarik bayaran tinggi untuk pentasnya, tapi juga untuk jasa seksualnya.  Ronggeng adalah milik semua orang, dan ini jugalah yang kemudian menimbulkan keretakan hubungan Srintil dengan kawan laki-laki sepermainannya, Rasus, yang pergi meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi tentara.

Demikian novel trilogi novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (2003), yang kemudian diadaptasi menjadi film Sang Penari. Film yang dibidani oleh Ifa Ifansyah ini menyabet berbagai penghargaan tertinggi, di antaranya sebagai film terbaik, sutradara terbaik, dan pemeran utama wanita terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2011, mengisahkan bagaimana sang ronggeng kemudian dituding sebagai pemberontak PKI, ditangkap dan dibui.

Continue reading “Ronggeng Dukuh Paruk: Seksualitas & Penghayatan Sang Penari”

Memories and lost words

I’ve long stopped smearing drecks across this blog, preferring instead to fire off utilitarian (or so I believed) posts on C2O library’s growing site, and keeping the personal on my handwritten journals. 4 years ago I was hammering and painting the bookshelves using Danny’s notes.  Now I’m thinking of upgrading to ceiling-high shelves as more and more book donations are bursting the creaking shelves.

A couple of years down, a stack of journals (the free, faux-leather kind handed out as annual reminder souvernirs by travel bureaus)—loyal victims of my whims and merciless scribbles, and a barely-filled one that got away, I’m writing here again. A few languages fell into disuse, the mother—whose mother’s?—tongue I have never been completely at ease with winning out in terms of my quantity of use.

Continue reading “Memories and lost words”

Catatan kegiatan: Design It Yourself

Meskipun merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya ternyata tidak masuk dalam jajaran kota yang disiapkan menjadi kota kreatif di peta nasional[1].  Memang, kota besar bukan berarti secara otomatis adalah kota kreatif.  Malah, dalam kasus Surabaya, banyak yang berpendapat bahwa kreatifitas dan kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan industri ataupun perdagangan, tidak mendapatkan ruang ataupun apresiasi di sini.  “Kota dagang”, “kota kerja”, dengan karakter yang keras, kasar, tidak mempedulikan budaya, seni, ataupun komunitas sekeliling yang tidak berhubungan langsung dengannya, kerap diasosiasikan dengan kota pesisir ini (sebagai contoh, lihat Dick 2002; Basundoro 2009).

Continue reading “Catatan kegiatan: Design It Yourself”