Cornell-NY bag. 2: Cornell, di luar konferensi

Cornell-map

Karena ada beberapa teman yang tertarik dengan hal-hal di luar materi akademis yang dibahas di presentasinya sendiri, dan kebanyakan adalah teman-teman berbahasa Indonesia, saya tuliskan juga di sini persiapan-persiapan saya, pengalaman di sana, fasilitas, dan sebagainya, dalam bahasa Indonesia. Daripada saya mengulang menjelaskan berulang kali. Bagi yang tertarik hanya pada materi presentasi saja, silakan membaca tulisan saya sebelumnya.

Awal dan persiapan.

Saya mendapat informasi Call for Papers Announcement: 15th Annual Southeast Asian Studies Graduate Conference ini dari Facebook Pak Aditya Nugraha, kepala perpustakaan UK Petra. Di saat yang berdekatan sebenarnya ada juga Call for Papers lain dari UCLA Indonesian Studies, dengan topik Critical Histories of Activism: Indonesia’s New Order and its Legacies (tenggat waktu abstrak: 7 Januari 2013). Karena saya merasa keder dengan topik UCLA yang lebih spesifik, saya memutuskan untuk mengirimkan ke Cornell saja pada tenggat waktunya, 10 Januari. Sayang sih, karena kalau melihat daftar makalah yang dipresentasikan di UCLA, tampak sangat menarik. (Tapi toh ada Bung Negro Hatib dan Tom yang akan presentasi, jadi mari kita nantikan saja berita dari mereka.)

24 Januari, saya menerima email dari SEAP graduate conference bahwa abstrak saya diterima, dan mereka bersedia memberi bantuan akomodasi dan biaya perjalanan ke Ithaca, tentunya asal saya menepati tenggat waktu mengirimkan makalah lengkap 15 Februari. Senangnya bukan main. Sebelumnya saya hanya bisa membaca atau mendengar mengenai Cornell papers, Cornell Modern Indonesia Project, Indonesia journal, buku-buku Ben Anderson, James Siegel, Kahin, McVey, Shiraishi, atau dari cerita-cerita Pak Dede atau Khanis. Sekarang bisa ke sana. Karena ini juga pengalaman pertama saya ke Amerika, saya menambah waktu saya di sana sedikit, 3 hari di New York.

Erlin membantu saya meminjamkan jaket musim dingin dari Yun, dan merekomendasikan Airbnb, situs yang memfasilitasi sewa kamar dari orang-orang setempat dan bukannya dari hotel, untuk mencari akomodasi murah di New York. Setelah merepotkan Erlin dan Melissa dengan pertanyaan-pertanyaan cupu mengenai New York, saya memilh memesan tempat di Bedford-Nordstrand, Brooklyn. Matt memperkenalkan saya ke Bart yang membantu saya memberi tips-tips perjalanan dari bandara JFK ke Ithaca, singkatnya dapat diringkas menjadi: take the AirTrain from JFK to the A/C/E subway line. From there take the A (or E) subway to Port Authority Bus Terminal. Catch the ShortLine bus from Port Authority to Ithaca. Mengurus visa Amerika relatif cepat dan tidak bermasalah. Saya mendapatkan informasinya online.

Setelah membayar uang visa melalui Bank Permata dan mengisi formulir online, saya datang ke konsulat Amerika di Citraland dengan membawa surat undangan dari Cornell. Antrinya memang agak lama, tapi wawancara kurang dari 3 menit, surat undungan saya tunjukkan, dan 3 hari kemudian passport dan visa dikirimkan kurir langsung ke rumah saya. Tapi saran saya: urus visa secepat mungkin, untuk jaga-jaga kalau-kalau ada masalah. Sebaiknya juga membawa buku rekening bank. Saya sih tidak dimintai ataupun dicek, tapi ada kawan saya yang ditolak visanya karena tidak membawanya.

Penerbangan ke New York.

Untuk penerbangan dari Surabaya ke New York, rute yang saya tempuh dengan Cathay Pacific: Surabaya – Hong Kong 4 jam, dan kemudian Hong Kong – New York 15 jam. Tiba di JFK jam 7 malam, sementara ShortLine ke Ithaca saya baru berangkat pukul 10 pagi keesokan harinya, jadi saya pun menghabiskan malam begadang di JFK Terminal 5 menghadap laptop. Sekedar catatan, meski ada Starbucks dan Dunkin Donuts’ di JFK, tapi tidak tersedia kursi untuk nongkrong. Saya ke terminal 5 karena saya baca di Internet ini satu-satunya terminal yang ada koneksi wifi gratis (courtesy of JetBlue).

Esok paginya, jam 6, saya mengikuti saran Bart, mengambil Air Train ke Jamaica Station, untuk kemudian naik subway ke Port Authority Bus Terminal. Naik ke lantai dua dengan membawa printout tiket ShortLine yang telah saya beli online untuk menukarnya dengan karcis. Karena bus saya baru datang 3 jam lagi, saya memilih berjalan-jalan di sekitar.

Kantor New York Times, tepat di depan Port Authority
Kantor New York Times, tepat di depan Port Authority
Bryant Park. Di baliknya ada New York Public Library
Bryant Park. Di baliknya ada New York Public Library

Menuju Cornell (kampus barat), Ithaca.

Jam 10, saya kembali ke Port Authority, dan berangkat dengan ShortLine ke Ithaca, berhenti di Baker’s Flagpole di kampus barat Cornell. Di sana saya dijemput Erick, mahasiswa doktoral antropologi di Cornell yang juga akan presentasi di konferensi, yang kemudian mengantarkan saya ke Telluride House, di mana saya akan tinggal selama di Cornell. Tempatnya sangat nyaman dan tenang, kondusif sekali untuk belajar dan tinggal. Di dalam asrama ini ada perpustakaan, fasilitas komputer, lengkap dengan printer dan scanner. Di lantai paling bawah, ada ruang bersantai (komplit dengan meja bilyar), ruang makan dan dapur. Makan malam dihidangkan setiap malam jam 6, tapi setiap saat penghuni dapat mencari makan di dapur. Selalu ada buah-buahan (pisang, apel, anggur, jeruk, pir… Surga benar!), roti, granola bars, sup hangat, dates, condiments, dan susu almond, kopi, teh dan coklat. Benar-benar terfasilitasi untuk belajar dan konsentrasi di rumah.

Telluride House
Telluride House
Telluride Library, bisa asik belajar dan baca di sini
Telluride Library, bisa asik belajar dan baca di sini

 

Goldwin Smith Hall
Goldwin Smith Hall
Arts Quad
Arts Quad

Dibandingkan dengan NYC, Ithaca jauh lebih dingin, masih bersalju bahkan karena terletak di gunung. (Sedikit norak, tapi ini pengalaman pertama saya melihat, dan terperosok, di salju.) Saya lebih banyak berkeliling di daerah ilmu sosial & humaniora di sebelah barat yang menempati gedung-gedung kuno, tapi di bagian timur ada juga bagian-bagian teknologi dan ilmu pasti yang menempati gedung-gedung modern. Cornell menempati hampir seluruh bagian Ithaca (petanya bisa dilihat di sini), jadi menurut teman-teman di sana (dan juga berbagai terbitan kampus yang saya baca di sana), tidak banyak kegiatan yang dapat dilakukan di sana selain belajar, membaca, menulis, meneliti. Benar juga sih, karena cuaca yang sangat dingin, orang-orang cenderung lebih suka berada di dalam ruangan, dan bisa betah berlama-lama di dalam perpustakaan, tidak berjalan-jalan keluar.

IMG_2819

 

Pemandangan dari atas
Pemandangan dari atas

 

Teman saya bercerita dia sering lebih dari sebulan tidak ke tempat lain selain kampus dan rumahnya, karena juga tidak tahu mau ke mana. Katanya hanya ada 10 taksi di kota ini (meski sepeda banyak! :D). Mahasiswa doktoral Cornell juga rupanya memiliki tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada di kampus lainnya, 27 orang dalam 2 dekade, seringkali dengan meloncat ke jurang air. Sampai-sampai barusan mereka pasang jala di bawah jembatan.

Perpustakaan Cornell.

Sudah saya sebutkan tadi, di Cornell, kita bisa sangat betah di perpustakaan, dari pagi sampai malam. Perpustakaan utama ilmu sosial & budaya, Olin & Uris, buka hingga pukul 2 dini hari, dan meskipun saya bukan mahasiswa Cornell, saya sama sekali tidak ada kesulitan keluar masuk. Tidak perlu kartu ID ataupun kode pakaian khusus, selama saya tidak membuat keributan atau merusak. (Berbeda dengan perpustakaan beberapa universitas di sini yang (bahkan bangga bahwa) masuk ke gedungnya saja harus memakai baju berkerah dan sepatu.) Banyak meja-meja untuk mahasiswa-mahasiswa membaca dan belajar. Di dalam Uris Library, ada Andrew D. White library yang sangat indah dan nyaman untuk belajar.

whiteroom
Perpustakaan Andrew D. White. Kadang-kadang disebut sebagai perpus Harry Potter, hehehe…

 

Perpustakaan ini barusan ditampilkan oleh BBC sebagai salah satu perpustakaan universitas paling indah di dunia. Koleksi di dalamnya berasal dari koleksi pribadi salah satu pendiri dan presiden pertama Cornell, Andrew Dickson White.

Perpustakaan Cornell juga dikenal sebagai salah satu perpustakaan di dunia yang memiliki koleksi Asia terbesar, dan ini disimpan di Kroch Library yang dibangun di bawah tanah. Di dalamnya, ada divisi-divisi Asia umum, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara (Echols), dan Asia Amerika. Koleksi Indonesianya, bisa dikatakan salah satu yang terbaik di dunia. Jack Chia, mahasiswa doktoral sejarah Cornell yang juga berperan sebagai salah satu panitia konferensi, berinisiatif mengenalkan saya pada Jeffrey Peterson, pustakawan koleksi Asia Tenggara Cornell. Jeffrey memberi kami tur yang sangat komprehensif ke koleksi Asia Tenggara Echols di Cornell, memberi kami petunjuk cara-cara menavigasi diri di tengah koleksi yang luar biasa itu, dan juga memberi petunjuk penggunaan katalog online yang sudah terintegrasi dengan worldcat.

Ada banyak mesin fotokopi dan scanner di dalam perpustakaan ini. Mahasiswa bisa menggunakan scanner dengan cuma-cuma dan menyimpan file dalam flashdisk mereka. Begitulah, fasilitas sistem informasi yang ada membuat saya antara terpukau sekaligus miris mengingat—sebagaimana juga dikeluhkan oleh banyak orang—pastinya ada banyak naskah-naskah (di perpustakaan) Indonesia yang tidak terdata. PR kita juga, tentunya.

Jeff membantu Dafna dari Utrecht menelusuri arsip tentang film di Hindia Belanda
Jeff membantu Dafna dari Utrecht menelusuri arsip tentang film di Hindia Belanda. Ini di ruangan akuisisi baru. Komputernya tidak usah iMac :P
Carole menunjukkan kartu katalog arsip
Carole menunjukkan kartu katalog arsip

Di antara banyak perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di kampus Cornell ini, ada juga satu perpustakaan alternatif, Durland Alternatives Library, di Anabel Taylor Hall. Sayangnya saya tidak sempat lama di sini. Ada banyak pula zine, DVD, buku-buku berhubungan dengan filsafat, LGBTIQ, rehabilitasi eks tahanan, dan sebagainya. Perpustakaan, ruang baca alternatif dan infoshop sebenarnya juga memiliki sejarah yang cukup panjang (dan penuh jatuh bangun) di Amerika, Eropa, dan juga Jepang. Sekedar info, kebetulan Januari lalu kami juga kedatangan  pengelola infoshop dari Jepang, Keisuke Narita dan Yuki dari Irregular Rhythm Asylum infoshop.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *